CHAPTER 1
A deeply
religious
non-believer
//Orang
alim yang
tidak beriman//
I don't try to imagine
a personal God; it suffices to
stand in awe at the
structure of the world, insofar as it
allows our inadequate
senses to appreciate it.
“Saya tidak membayangkan
tuhan yang memiliki kepribadian; Cukuplah untuk berdiri dan mengagumi struktur
dunia, sejauh panca indera kita yang tak sempurna ini bisa mengapresiasinya.”
ALBERT EINSTEIN
Kehormatan yang Pantas
Anak itu tiarap di atas rerumputan, dagunya bertumpu di tangannya. Dia tiba-tiba merasa kewalahan oleh kesadaran yang tinggi atas batang-batang dan akar-akar pohon yang kusut, dia menemukan sebuah hutan di dalam dunia mikro, dunia semut dan kumbang yang berbeda dan bahkan dunia miliaran bakteri di dalam tanah, dimana secara diam-diam bakteri tersebut menopang perekonomian dunia mikro, walaupun anak itu belum mengetahui detail bakteri pada saat itu. Tiba-tiba dunia mikro tersebut tampak membesar dan menjadi satu dengan alam semesta, pikirannya terpesona merenungkan hal itu. Dia menafsirkan pengalaman tersebut secara religius dan ahirnya menuntunya ke dunia kependetaan. Dia akhirnya menjadi seorang pendeta. Dia ditahbiskan sebagai pendeta Anglikan dan menjadi pendeta imam di sekolah saya, dia adalah salah seorang guru saya yang saya sayangi. Berkat pendeta yang liberal dan jujur seperti dialah orang tidak bisa mengklaim saya mengalami indoktrinasi agama pada masa kecil.
Di waktu dan tempat yang lain, anak itu bisa saja adalah saya di bawah bintang-bintang, terpesona oleh rasi bintang Orion, Cassiopeia dan Ursa Major, menangis karena musik sunyi dari Galaksi Bima Sakti, mabuk oleh aroma kamboja malam dan bunga terompet di taman Afrika. Mengapa emosi yang sama menuntun guru saya itu ke suatu arah dan saya ke arah yang lain bukanlah pertanyaan yang mudah untuk di jawab. Respon kuasi-mistis terhadap fenomena kehidupan dan alam semesta merupakan hal yang biasa di antara para ilmuwan dan rasionalis. Ini tidak ada hubungannya dengan kepercayaan supranatural. Di masa kanak-kanak setidaknya, pendeta saya mungkin tidak menyadari (begitu juga saya) tentang kalimat penutup buku The Origin of Species – di bagian akhir yang terkenal itu, “burung-burung yang bernyanyi di semak-semak, berbagai serangga yang melayang-layang di sekitar, dan cacing-cacing yang merayap melalui bumi yang lembab”. Seandainya dia tahu akan hal itu, dia pasti akan memahaminya sebagaimana pendangan Darwin yang melihat bahwa semua itu “diproduksi oleh hukum alam yang bertindak di sekitar kita”:
“Begitulah, dari peperangan di alam,
dari kelaparan dan kematian, makhluk paling mulia yang dapat kita fahami, khususnya, penciptaan hewan yang lebih tinggi, muncul secara langsung.
Ada keagungan dalam pandangan hidup ini, dengan beberapa kekuatannya, yang pada
awalnya membentuk banyak atau satu bentuk hewan, dan sementara planet ini berputar,
menurut hukum tetap gravitasi yang tetap, dari awal yang begitu sederhana, bentuk-bentuk hewan yang
paling indah dan paling mengagumkan terus menerus telah, dan sedang, berevolusi.”
Carl Sagan di dalam buku Pale Blue Dot menulis:
“Mengapa hampir tidak ada agama-agama
utama yang melihat ke sains dan menyimpulkan. ‘Ini lebih baik daripada yang
kita pikirkan! Alam semesta jauh lebih besar daripada yang di katakan nabi-nabi
kita, lebih megah, lebih rumit, lebih elegan?’ Bukannya demikian, justru mereka
berkata, ‘tidak, tidak, tidak! Tuhan saya adalah tuhan yang kecil, dan saya
ingin dia tetap seperti itu.’ Sebuah agama, yang tua maupun yang baru, yang
menekankan kebesaran alam semesta sebagaimana di gambarkan sains modern mungkin
dapat menarik simpati dan rasa takjub yang tidak pernah di sentuh agama pada
umumnya.”
Buku Carl Sagan menyentuh ujung saraf dari rasa ingin
tahu yang di monopoli agama pada abad-abad lalu. Buku saya memiliki aspirasi
yang sama. Akibatnya saya sering mendengar diri saya di gambarkan sebagai orang
yang sangat religius. Seorang pelajar amerika menulis surat kepada saya bahwa
dia pernah menanyakan dosennya prihal apakah si dosen memiliki pandangan
tentang saya. ‘Tentu,’ Jawabnya. ‘Sains positifnya tidak sesuai dengan agama,
tetapi dia berfikir mendalam dan tinggi tentang alam dan jagad raya. Bagi saya,
itu adalah agama!’ Tapi apakah agama adalah kata yang tepat? Saya pikir tidak.
Pemenang Nobel dalam Fisika (dan atheist) Steven Weinberg mengutarakan poin
yang sangat baik, dalam buku Dreams of a
Final Theory:
“Beberapa orang memiliki pandangan
tentang tuhan yang sangat luas dan fleksibel sehingga tidak terelakkan mereka
menemukan tuhan dimanapun mereka mencarinya. Seseorang mendengar
perkataan, ‘tuhan adalah absolut’ atau
‘tuhan adalah karakter kita yang lebih baik’ atau ‘tuhan adalah alam semesta.’
Tentu saja, seperti kata-kata yang lain, kata ‘tuhan’ dapat kita maknai sesuka
hati kita. Jika anda ingin mengatakan ‘tuhan adalah energi,’ maka anda dapat
menemukan tuhan di dalam gumpalan batu bara”
Weinberg tentu saja benar, agar kata tuhan tidak menjadi kata yang tidak berguna, kata itu harus di gunakan sebagaimana orang memahaminya
secara umum: untuk menunjuk kepada Pencipta Supernatural yang ‘pantas untuk
kita sembah’.
Banyak kesalah pahaman yang di sayangkan di sebabkan oleh
kegagalan membedakan apa yang di sebut agama khas Einstein (Einsteinian) dengan agama
supernatural. Einstein terkadang menyebut kata tuhan (dan dia bukanlah
satu-satunya ilmuan atheist yang sering melakukan hal itu), mengundang kesalah
pahaman dari kalangan supernaturalis yang sangat ingin mencaritahu dan
mengklaim si pemikir sebagai bagian dari mereka. Yang dramatis (atau mungkin
bermasalah) adalah bagian ahir dari buku Stephen Hawking A Brief History of Time, “Oleh karena itu kita harus mengetahui
pikiran tuhan”, yang benar-benar di salah gunakan. Itu telah menuntun orang
untuk salah paham bahwa Stephen Hawking adalah orang yang religius. Ahli
biologi sel Ursula Goodenough, dalam buku The
Sacred Depths of Nature, terdengar lebih religius daripada Hawking ataupun
Einstein. Dia mencintai gereja, masjid dan biara, dan banyak kalimat di
dalam bukunya menggugah untuk di salah gunakan oleh kalangan agama
supernatural. Dia melanjutkan dengan menyebut dirinya sebagai ‘Naturalis yang
Religius’. Akan tetapi, pembacaan yang teliti terhadap bukunya menunjukkan
bahwa dia sebenarnya sangat atheist seperti saya.
Naturalis adalah kata yang ambigu. Bagi saya itu
menampakkan pahlawan masa kecil saya, Doctor Dolittle karya Hugh Lofting (yang
ngomong-ngomong memiliki lebih dari sentuhan filsuf naturalis HMS Beagle
tentangnya). Pada abad ke-18, naturalis memiliki makna yang sama dengan maknanya
yang sekarang: seorang yang mempelajari tentang fenomena alam. Naturalis dalam
pandangan ini, dari Gilbert White, sering merupakan seorang pendeta. Darwin
sendiri pada awalnya di arahkan ke gereja ketika dia masih muda, berharap bahwa
waktu luangnya di gereja kependetaan akan mengizinkannya untuk mengejar
ketertarikannya akan Kumbang. Tetapi para filsuf menggunakan kata naturalis
dalam makna yang berbeda, sebagai lawan dari kata supernaturalist. Julian Baggini
menjelaskan dalam buku Atheism: A Very
Short Introduction tentang makna dari komitmen seorang atheist terhadap
naturalisme:
“Apa yang di percaya kebanyakan atheist adalah walaupun
hanya ada satu macam zat di alam semesta ini dan itu adalah zat yang fisik,
dari zat inilah muncul akal, keindahan, nilai moral – singkatnya, segala macam
fenomena yang memberikan kesempurnaan dalam hidup manusia”
Fikiran dan emosi manusia muncul dari hubungan yang
sangat kompleks antar entitas-entitas fisik di dalam otak manusia. Seorang
atheis dalam hal filosofi naturalis ini adalah seseorang yang percaya bahwa tidak
ada apapun di luar dunia fisik alamiah, tidak ada kecerdasan supernatural yang
bekerja di balik alam semesta yang terobservasi, tidak ada jiwa yang hidup lebih
lama dari badannya dan tidak ada keajaiban – kecuali dalam hal fenomena alam
yang belum kita fahami. Jika ada sesuatu yang tampak berada di luar dunia alamiah, itu
karena kurangnya pemahaman kita akan hal itu saat ini, kita berharap suatu saat
akan dapat memahami dan merangkulnya di dalam kaidah alamiah. Sebagaimana
ketika kita memahami proses fisika di balik pelangi, itu tidak membuat
keindahannya berkurang.
Para ilmuan besar di zaman kita yang terdengar religius sebenarnya
tidak religius ketika anda teliti tentang kepercayaannya lebih mendalam. Ini tentunya
benar terhadap Einstein dan Hawking. Astronomer Royal dan Presiden The Royal
Society saat ini, Martin Rees, memberitahu saya bahwa dia pergi ke gereja
sebagai seorang ‘Anglikan* yang tak beriman... atas kesetiaan terhadap
sukunya’. Dia tidak memiliki kepercayaan agamis, tapi sama-sama merasakan
naturalisme puitis yang di timbulkan alam semesta seperti terhadap
ilmuan-ilmuan yang telah saya sebutkan. Dalam kesempatan wawancara telivisi
beberapa waktu yang lalu, saya menantang teman saya seorang dokter kandungan, Robert Winston, seorang Yahudi yang terhormat di Inggris, untuk
mengakui bahwa karakter keyahudian dia adalah seperti yang di atas dan dia
tidak benar-benar mempercayai hal-hal yang gaib. Dia hampir saja mengakuinya
tetapi tidak jadi (sebenarnya dia yang seharusnya menginterview saya, bukan
sebaliknya). Ketika saya menekan dia, dia berkata bahwa agama Yahudi
menyediakan disiplin yang bagus untuk membantunya menyusun kehidupan yang baik.
Mungkin itu benar; tapi tentu saja, itu sama sekali tidak memiliki sedikitpun
hubungan dengan kebenaran klaim-klaim supernatural agama itu. Ada banyak
intelektual ateis yang bangga menyebut diri mereka Yahudi dan menjalankan
tradisi ibadah Yahudi, mungkin karena kesetiaan mereka terhadap tradisi kuno
atau anggota keluarga yang terbunuh, tapi juga karena kebingungan dan keinginan
melabel faham Pantheistic* yang dirasakan banyak di antara kita dengan label
‘agama’ dengan pemukanya yang sangat ternama, Einstein. Mereka mungkin tidak
percaya tetapi, meminjam ungkapan Dan Dennet, mereka ‘percaya kepada
kepercayaan mereka’.
Salah satu ungkapan Einstein yang paling sering muncul
adalah “Sains tanpa agama itu lumpuh, agama tanpa sains itu buta.” Tapi
Einstein juga mengatakan,
"Itu tentu saja sebuah kebohongan, apa
yang anda baca tentang keyakinan agama saya, sebuah kebohongan yang di
ulang-ulang secara sistematis. Saya tidak percaya kepada tuhan yang
berkepribadian dan saya tidak pernah menyangkal ini tetapi saya telah mengungkapkannya
secara jelas. Jika ada sesuatu dalam diri saya yang dapat di katakan religius
maka itu adalah rasa takjub yang tak terbatas akan struktur dunia sejauh yang
dapat di ungkapkan ilmu pengetahuan kita."
Apakah ini artinya Einstein membantah dirinya sendiri?
Karena perkataannya dapat di comot dan di gunakan untuk mendukung argumen kedua
belah pihak? Tidak. ‘Agama’ yang di maksud Einstein sangat berbeda dengan agama
pada umumnya. Sebagaimana saya terus menjelaskan perbedaan antara agama
supernatural di satu sisi dan agama khas Einstein di lain sisi, camkan baik-baik
bahwa saya hanya menyebut tuhan yang seupernatural (gaib) sebagai sebuah ilusi.
Ini adalah beberapa ungkapan dari Einstein, untuk
memberikan nilai tambah terhadap agama khas Einstein (Einsteinian).
“Saya adalah orang alim yang tidak
beriman. Ini adalah semacam agama baru”
“Saya tidak pernah memaksakan sebuah
tujuan atau goal atas alam, atau apapun yang dapat di fahami sebagai
antropomorphic (antropomorfisme adalah pemberian atribut sifat-sifat, emosi, atau niat manusia ke dalam entitas non-manusia). Apa yang saya lihat di alam adalah struktur luar biasa yang
dapat kita fahami dengan sangat tidak sempurna, dan itu harus memberikan
perasaan rendah diri pada orang-orang yang berfikir. Ini adalah perasaan
religius murni yang tidak ada hubungannya dengan mistisisme.”
“Konsep Tuhan yang berkepribadian
sangat aneh bagi saya dan bahkan terlihat bodoh”
Sejak kematian Einstein, lebih banyak
lagi agamawan yang mengklaim Einstein sebagai bagian dari mereka. Beberapa
agamawan yang hidup sezaman dengan Einstein melihatnya dengan sangat berbeda.
Pada tahun 1940 Einstein menulis surat yang terkenal, menbenarkan pendapatnya
“Saya tidak percaya kepada tuhan yang berkepribadian.” Ini dan
pendapat-pendapat serupa menimbulkan badai surat-surat dari kalangan ortodoks
agama, banyak dari mereka menyebut-nyebut tentang latar belakang Yahudi Einstein.
Contoh-contoh berikutnya di ambil dari buku karya Max Jammer, Einstein and Religion (yang juga
merupakan sumber utama saya untuk pendapat-pendapat Einstein dalam hal agama).
Imam Katolik Roma di kota Kansas mengatakan: “Sedih untuk melihat orang yang
datang dari tradisi Kitab Injil Perjanjian Lama dan ajarannya, manolak tradisi
besar ras itu.” Imam Katolik yang lain mengklaim: “Tidak ada tuhan lain selain
tuhan yang berkepribadian... Einstein tidak tahu apa yang dia bicarakan. Dia
sangat salah. Beberapa orang berfikir bahwa jika mereka mencapai derajat tinggi
di dalam suatu disiplin ilmu, mereka bisa mengutarakan pendapat dalam segala
hal.” Konsep bahwa agama adalah sebuah disiplin ilmu yang pantas, dimana orang
boleh mengklaim sebagai seorang ahli, adalah salah satu hal yang tidak boleh di
abaikan. Imam tersebut mungkin tidak akan menolak seseorang yang mengklaim
dirinya sebagai ahli ilmu peri dalam hal kepastian bentuk dan warna sayap peri.
Mereka berdua berfikir bahwa karena Einstein tidak terdidik di bidang agama
sehingga dia salah memahami tentang tuhan. Justru sebaliknya, Einstein sangat
memahami apa yang dia bantah.
Seorang pengacara dari Katolik Roma,
yang bekerja atas nama koalisi Ecumenical (kristen
universal/non-denominational), menulis kepada Einstein:
“Kami sangat menyayangkan anda membuat
statemen... dimana anda menghina ide tentang tuhan yang berkepribadian. Dalam
10 tahun terahir tidak ada sesuatupun yang dapat di pikirkan orang sebagai
alasan Hitler mengusir Yahudi dari Jerman kecuali statement anda. Memanfaatkan
hak anda atas kebebasan berbicara, saya tetap mengatakan bahwa statemen anda
membuat anda sebagai salah satu sumber terbesar perpecahan di Amerika”
Seorang Rabbi di New York berkata:
“Einstein adalah ilmuan hebat, tapi pandangan agamanya sangat berlawanan dengan
agama Yahudi”
‘Tapi’? ‘Tapi?’
Mengapa tidak menggunakan kata ‘dan’ saja?
Presiden dari Komunitas Sejarah di New
Jersey menulis surat yang menunjukkan dengan jelas betapa salah dan lemahnya
pola pikir orang yang religius, ini pantas di baca dua kali:
“Kami menghormati pelajaran anda, Dr.
Einstein; tapi tampaknya ada satu hal yang tidak pernah anda pelajari: bahwa
tuhan itu gaib dan tidak bisa di temukan dengan teleskop atau mikroskop, tidak
lebih dari pikiran dan emosi manusia yang bisa di temukan dengan menganalisa
otak. Sebagaimana di ketahui semua orang, agama di dasari dari iman, bukan
pengetahuan. Semua orang yang berfikir pasti pernah di hinggapi rasa ragu
tentang agama. Keimanan saya pun sering mengalaminya. Tapi saya tidak pernah
mengungkapkan keraguan agama saya kepada orang lain karena dua alasan: (1) Saya
takut jika saya akan mengganggu dan merusak kehidupan dan harapan sesama
manusia; (2) Karena saya setuju dengan seorang penulis yang berkata, ‘Ada sifat
kikir dari setiap orang yang ingin menghancurkan iman orang lain.’ ... Saya
harap, Dr. Einstein, bahwa pendapat anda itu di salah gunakan dan anda akan
mengatakan pendapat-pendapat yang lebih menyenangkan kepada banyak rakyat Amerika yang akan senang
melakukan penghormatan untuk anda.”
Sunnguh surat yang sangat
memprihatinkan! Setiap huruf menunjukkan kepengecutan intelektual dan moral.
Yang tidak begitu buruk tetapi lebih
mengejutkan adalah surat dari Pendiri Asosiasi Calvary Tbernacle*.
Professor Einstein, saya percaya bahwa
setiap orang kristen di Amerika akan menjawab anda, ‘Kami tidak akan
meninggalkan kepercayaan kami kepada tuhan dan putranya Yesus Kristus, tapi
kami akan mempersilahkan anda, jika anda tidak percaya kepada tuhan dari negara
ini, untuk pergi kembali ke negara asal anda.’ Saya telah melakukan segala
kemampuan saya untuk kebaikan Israel, dan anda datang dengan statemen dari
lidah kotor anda, berbuat lebih banyak untuk menyakiti nilai orang-orang
Anda daripada semua upaya orang-orang Kristen yang mencintai Israel bisa lakukan
untuk membasmi anti-Semitisme di tanah kami. Professor Einstein,
semua orang kristen di Amerika akan menjawab anda, “Ambil teori Evolusi anda
yang gila dan salah dan pergi ke Jerman dimana anda berasal, atau berhenti
mencoba merusak keimanan orang-orang yang menyambut anda ketika anda di usir
dari negara anda.”
Satu hal
yang semua theist pahami dengan benar bahwa Einstein bukanlah salah satu dari
mereka. Dia sering marah karena gosip bahwa dia adalah seorang theist. Jadi,
apakah dia seorang Deist (bertuhan tapi tidak beragama?), seperti Voltaire dan
Diderot? Atau seorang Pantheist seperti Spinoza yang filosofinya dia kagumi:
“Saya percaya kepada tuhannya Spinoza yang menunjukkan dirinya dalam
keteraturan dan harmoni semua yang ada, bukan tuhan yang memperhatikan dirinya
sendiri dengan takdir dan perbuatan manusia?"
Mari kita
ingatkan diri kita tentang istilah. Seorang theist percaya kepada kecerdasan
gaib yang di samping pekerjaan utamanya menciptakan alam semesta, juga tetap
hadir untuk mengawasi dan memperngaruhi takdir berikutnya dari ciptaannya
tersebut. Dalam banyak sistem kepercayaan agama, tuhan terlibat secara intim
dengan urusan manusia. Dia menjawab doa, memaafkan atau menghukum pendosa, ikut
campur di dunia dengan menunjukkan keajaiban-keajaiban, rewel akan perbuatan
baik dan jahat, dan mengetahui kapan kita akan melakukannya (atau berfikir
untuk melakukannya). Seorang deist, juga percaya kepada kecerdasan gaib, tapi
yang aktifitasnya terbatas pada membangun alam semesta dan hukum yang
mengaturnya saja. Tuhan seorang Deist tidak pernah ikut campur setelahnya, dan
tidak memiliki ketertarikan khusus terhadap urusan manusia. Pantheist tidak
percaya kepada tuhan yang gaib sama sekali, tapi menggunakan kata Tuhan sebagai
sinonim dari Alam, atau Alam Semesta, atau hukum yang mengaturnya. Deist
berbeda dengan Theist bahwa tuhannya tidak menjawab doa, tidak tertarik kepada
dosa dan pertaubatan, tidak membaca pikiran dan tidak ikut campur dengan
mukjizat-mukjizatnya. Deist berbeda dengan Pantheist bahwa tuhan Deist adalah
semacam kecerdasan kosmik, daripada sinonim metafora puitis Pantheist akan
hukum alam semesta. Pantheism adalah Ateisme yang di percantik. Deism adalah
Teisme yang di perhalus.
Ada banyak alasan untuk berfikir tentang ungkapan-ungkapan Einstein seperti “Tuhan itu halus tapi tidak jahat”, “Tuhan tidak bermain dadu”, “Apakah tuhan memiliki pilihan untuk menciptakan alam semesta?” sebagai ungkapan Pantheistik, bukan Deistik, apalagi Theistik. “Tuhan tidak bermain dadu” di maknai sebagai “Keacakan tidak terdapat pada semua hal.” “Apakah tuhan memiliki pilihan untuk menciptakan alam semesta?” artinya “Apakah alam semesta dapat muncul dengan cara yang berbeda?” Einstein menggunakan kata Tuhan murni untuk metafor dan makna puitis. Begitu juga Stephen Hawking, dan begitu juga banyak fisikawan-fisikawan lain yang sering secara tidak di sengaja menggunakan metafora agama. The Mind of God karya Paul Davies tampaknya berada di antara Pantheisme khas Einstein dan bentuk samar-samar dari Deisme – yang oleh karenanya dia memperoleh hadiah Templeton (Uang dalam jumlah yang sangat besar yang di berikan setiap tahun oleh Yayasan Templeton, biasanya untuk ilmuan-ilmuan yang siap mengatakan hal-hal yang bagus tentang agama). (Jumlah hadiah templeton itu 1 Juta Poundsterling atau sekitar 19 Miliar Rupiah - Pen.)
Ada banyak alasan untuk berfikir tentang ungkapan-ungkapan Einstein seperti “Tuhan itu halus tapi tidak jahat”, “Tuhan tidak bermain dadu”, “Apakah tuhan memiliki pilihan untuk menciptakan alam semesta?” sebagai ungkapan Pantheistik, bukan Deistik, apalagi Theistik. “Tuhan tidak bermain dadu” di maknai sebagai “Keacakan tidak terdapat pada semua hal.” “Apakah tuhan memiliki pilihan untuk menciptakan alam semesta?” artinya “Apakah alam semesta dapat muncul dengan cara yang berbeda?” Einstein menggunakan kata Tuhan murni untuk metafor dan makna puitis. Begitu juga Stephen Hawking, dan begitu juga banyak fisikawan-fisikawan lain yang sering secara tidak di sengaja menggunakan metafora agama. The Mind of God karya Paul Davies tampaknya berada di antara Pantheisme khas Einstein dan bentuk samar-samar dari Deisme – yang oleh karenanya dia memperoleh hadiah Templeton (Uang dalam jumlah yang sangat besar yang di berikan setiap tahun oleh Yayasan Templeton, biasanya untuk ilmuan-ilmuan yang siap mengatakan hal-hal yang bagus tentang agama). (Jumlah hadiah templeton itu 1 Juta Poundsterling atau sekitar 19 Miliar Rupiah - Pen.)
Izinkan saya meringkas agama khas Einstein dalam satu ungkapan dari
Einstein sendiri: “Pandangan bahwa pada setiap hal yang kita alami ada sesuatu
yang fikiran kita tidak dapat mencapainya dan yang keindahan dan kebesarannya
mencapai kita hanya secara tidak langsung dan sebagai refleksi kelemahan kita,
dalam pandangan ini, saya juga religius.” Dalam pemahaman seperti ini saya juga
religius, dengan tambahan bagian ‘tak dapat kita capai’ bukan berarti
‘selamanya tak akan pernah tercapai.’ Tapi saya lebih memilih tidak mengatakan
diri saya religius karena itu sering salah di pahami. Ini sangat merusak dan
menyesatkan karena, untuk sebagian besar orang, agama mengimplikasikan
keajaiban. Carl Sagan menyampaikannya dengan sangat baik: “... Jika tuhan di
artikan sebagai keseluruhan hukum fisika yang mengatur alam semesta, maka jelas
tuhan seperti itu ada, tapi tuhan ini tidak memuaskan secara emosional... tidak ada makna berarti untuk berdoa kepada hukum gravitasi.”
Lucunya, poin terakhir Carl Sagan tersebut di tunjukkan oleh Pendeta Dr.
Fulton J. Sheen, seorang professor di Universitas Katolik di Amerika, sebagai
bagian dari serangan keras terhadap penolakan Einstein terhadap tuhan yang
berkepribadian pada tahun 1940. Sheen secara sarkastik bertanya siapakah yang
mau menyerahkan hidupnya kepada Galaksi Bima Sakti. Sepertinya dia berfikir dia
sedang membuat poin yang menentang Einstein, bukan sebaliknya, karena dia
menambahkan: “Hanya ada satu kesalahan dengan agama kosmiknya (cosmical): dia menambahkan
huruf ekstra di dalam kata tersebut – yaitu huruf ‘s’.” (jika huruf s di hilangkan dari kata cosmical maka katanya akan menjadi comical atau lelucon, sebagai bentuk sindiran terhadap Einstein - Pen.) Tidak ada yang komikal
tentang kepercayaan einstein. Bagaimanapun juga, saya berharap bahwa fisikawan
berhenti menggunakan kata Tuhan untuk tujuan metaforis dan puitis mereka. Tuhan
Pantheistik metaforis para Fisikawan itu berbeda jutaan tahun cahaya dari
tuhannya para rabi, pendeta, dan kiyai yang ikut campur, membuat keajaiban,
membaca pikiran, menghukum pendosa, menjawab doa seperti di dalam Injil
(Taura/Qur’an). Secara sengaja mencampur adukkan antara keduanya, menurut saya,
adalah tindakan penghianatan intelektual yang sangat tinggi.
Kehormatan Yang Tidak Pantas
Judul saya, The
God Delusion (Delusi akan Tuhan), tidak di maksudkan kepada Tuhan seperti pemahaman
Einstein dan ilmuan-ilmuan yang tercerahkan di bagian sebelumnya. Itulah
mengapa saya saya perlu menyisihkan agama khas Einstein dulu untuk memulai:
karena itu memiliki kapasitas untuk membingungkan orang. Pada bagian yang
tersisa dari buku ini saya berbicara mengenai Tuhan yang supernatural, yang
paling di kenal oleh mayoritas pembaca saya adalah Yahweh, tuhan di kitab
Perjanjian Lama (Taurat). Saya akan membahas itu beberapa saat lagi. Tapi
sebelum meninggalkan bagian pendahuluan ini saya perlu untuk membahas satu hal
lagi yang akan sangat salah jika tidak di lakukan. Ini adalah tentang
etika. Mungkin orang yang religius akan tersingung dengan apa yang harus saya
katakan, dan akan menemukan halaman ini tidak cukup menghormati kepercayaan
tertentu mereka (atau kepercayaan yang di peluk oleh orang-orang lainnya).
Akan sangat memalukan jika kritikan seperti itu menghentikan mereka dari
membaca terus isi buku ini, jadi saya ingin menyelesaikannya di sini, pada
bagian awal.
Sebuah asumsi
yang tersebar luas, yang di terima hampir semua orang dalam masyarakat kita –
termasuk yang tidak beragama – adalah, keyakinan beragama itu rentan terhadap
kritikan dan harus di lindungi oleh dinding tebal penghormatan yang aneh, pada
level yang berbeda dengan kehormatan yang di berikan manusia kepada satu sama
lain. Douglas Adam mengutarakannya
dengan sangat baik, pada pidato mendadak yang dia sampaikan di Cambridge
beberapa waktu sebelum kematiannya, yang saya tidak pernah lelah menyampaikan
perkataan dia ini:
“Agama...
memiliki ide-ide tertentu pada dasarnya yang kita anggap keramat atau suci atau
apalah. Artinya adalah, ‘Ini adalah sebuah ide atau konsep yang anda tidak di
perbolehkan untuk mengatakan apapun yang buruk tentangnya; pokoknya anda tidak
boleh. Kenapa tidak boleh? – Karena anda
tidak boleh!’ Jika seseorang memilih partai yang tidak anda setujui,
anda bebas berdebat dengan dia tentang hal itu sesuka hati anda; setiap orang
akan memiliki argumen dan tidak akan ada yang tersinggung karenanya. Jika
seseorang mengatakan pajak harus naik atau turun, anda bebas berdebat tentang
itu. Tapi pada sisi lain, jika seseorang mengatakan ‘Saya tidak boleh menghidupkan
lampu pada hari sabtu’, anda berkata, ‘Saya menghormati hal itu’. (hari sabtu adalah hari Shabbat, dimana umat
Yahudi tidak boleh melakukan banyak pantangan, seperti; tidak boleh bekerja,
memasak, menanam, menjahit, menghidupkan lampu/listrik, dll. – Pen.)
Mengapa kita boleh saja mendukung
partai buruh atau partai konservatif, Republikan
atau Demokrat, model ekonomi ini versus yang itu, Macintosh daripada Windows –
tapi untuk memiliki sebuah pendapat tentang bagaimana alam semesta lahir,
tentang siapa yang menciptakan alam semesta... Tidak, itu suci? ... Kita
terbiasa untuk tidak mengkritik ide-ide agama tapi sangat menarik melihat
betapa besar kehebohan yang Richard timbulkan ketika dia melakukannya! Semua
orang gelisah tentang hal itu karena anda tidak boleh mengatakan hal-hal
tersebut. Tetapi ketika anda melihat ini secara rasional, tidak ada alasan
mengapa hal ini tidak boleh di debat seperti hal-hal yang lainnya, kecuali kita
sudah menyetujui entah bagaimana di antara kita tidak boleh ada perdebatan.”
Di sini adalah
beberapa contoh penghormatan berlebihan masyarakat kita terhadap agama, satu
yang benar-benar penting. Cara yang paling mudah untuk memperoleh status tidak
wajib militer pada masa perang adalah keagamaan. Anda mungkin saja seorang filsuf
yang baik dengan thesis doktoral yang memperoleh penghargaan, menguraikan
kejahatan dalam perang, tapi akan tetap memperoleh kesulitan dari panitia
pengurus wajib militer yang mengevalusai klaim anda untuk tidak ikut wajib
militer. Tapi, jika anda bisa mengatakan bahwa salah satu atau kedua orang tua
anda adalah Quaker, anda bisa lolos dengan cepat seperti angin, tidak penting
seberapa tidak lancarnya anda berbicara atau seberapa buta hurufnya anda
tentang teori Pasifisme ataupun Quakerisme tersebut. (Quaker/Quakerism adalah sebuah perkumpulan aliran agama kristen yang
mengutamakan prinsip perdamaian dan percaya terhadap doktrin Inner Light, atau
keterlibatan langsung Yesus Kristus di dalam jiwa mereka. – Oxford Dictionary.
Pen.),
Pada posisi
yang berlawanan dengan pasifisme, kita memiliki rasa keengganan untuk
menggunakan nama-mana keagamaan untuk kubu perang. Di Irlandia Utara, kubu Katolik
dan Protesten masing-msing di namai kubu Nasionalis dan Loyalists. Kata ‘agama’
di ganti dengan nama ‘komunitas’, seperti dalam istilah ‘peperangan antar
komunitas’. Di Iraq, akibat dari serangan Anglo-saxon Amerika pada tahun 2003,
berubah menjadi perang sipil antara kaum Muslim Sunni da Syi’ah. Ini
jelas-jelas konflik agama tetapi di headline halaman depan korang Independence pada
20 Mei 2006 yang tertulis justru adalah ‘Pembantaian Etnis’. ‘Etnis’ dalam
konteks ini adalah pelembutan bahasa. Apa yang kita saksikan di Iraq adalah
Pembantaian yang berhubugan dengan agama. Penggunaan awal istilah ‘Pembantaian
Etnis’ di negara pendahulu Yugoslavia juga adalah penghalusan bahasa untuk
pertikaian antar agama, yang melibatkan kaum Ortodox Serbia, kaum Katolik Kroasia,
dan ummat Islam Bosnia.
Saya pernah menarik perhatian tentang melegalkan agama untuk di diskusikan secara
publik mengenai etika di media dan pemerintahan. Ketika ada kontroversi yang
muncul mengenai etika seks dan reproduksi, anda bisa bertaruh pasti ada pemuka
agama dari beberapa grup agama yang akan di representasikan untuk menarik pengaruh, atau
muncul di panel diskusi di radio dan telivisi. Saya tidak menyarankan kita
untuk keluar menyensor orang-orang ini. Tapi mengapa masyarakat kita memberikan
mereka izin seakan-akan mereka memiliki keahlian layaknya seperti filsuf
moral, pengacara keluarga, atau dokter?
Ini adalah
salah satu contoh hak khusus agama. Pada 21 Februari 2006 pengadilan tinggi
Amerika membebaskan Gereja di New Mexico dari peraturan hukum yang bagi setiap
orang lain harus di patuhi, yaitu dalam hal menggunakan obat halusinogen.
Pengikut Centro Espirita Beneficiente Uniao do Vegetal meyakini bahwa mereka
bisa memahami Tuhan hanya dengan meminum Teh Hoasca, yang mengandung obat
halusinogen ilegal dimethyltryptamine (DMT). Catat bahwa alasan mereka cukup hanya
karena mereka ‘Percaya’ itu menambah
pemahaman mereka. Mereka tidak perlu menunjukkan bukti. Sebaliknya, ada banyak
bukti bahwa ganja mengurangi rasa mual dan ketidak nyamanan pasien yang sedang
menjalani kemoterapi. Tetapi pengadilan tinggi memutuskan pada tahun 2005 bahwa
semua pasien yang menggunakan ganja untuk tujuan medis akan mudah terkena
jeratan hukuman federal (walaupun di beberapa negara-negara bagian dimana penggunaan itu di legalkan). Agama, sebagaimana selalu, adalah kartu truf.
Bayangkan jika pengikut perkumpulan pengapresiasi seni memohon di pengadilan
bahwa mereka ‘percaya’ mereka
memerlukan obat halusinogen untuk dapat menguatkan pemahaman mereka akan
lukisan-lukisan surrealist dan impressionist. Tapi, ketika gereja meminta
permintaan yang sama, mereka di dukung oleh pengadilan tertinggi di daerah.
Beginitulah kekuatan agama sebagai alat untuk menarik dukungan.
Tujuh belas
tahun yang lalu, saya adalah salah satu dari tiga puluh enam penulis dan
seniman yang di minta oleh majalah New Stetesman untuk menulis dukungan
terhadap penulis terkemuka Salman Rushdie, yang nantinya mendapat vonis hukuman
mati karena menulis novel. Marah karena ‘simpati’ terhadap ‘ketersinggungan’
para Muslim dan ‘penghinaan’ dari para pemimpin gereja bahkan oleh beberapa
pemuka sekuler, saya menulis pendapat perbandingan sebagai berikut:
Jika advokat
apartheid memiliki keberanian mereka akan mengklaim – sebagaimana saya ketahui
– bahwa membiarkan perkawinan antara ras yang berbeda itu bertentangan
dengan peraturan agama mereka. Bagian yang baik dari pihak lawan akan menghormati
dan menghindar dari perdebatan. Dan
tidak ada gunanya mengklaim ini adalah perbandingan yang tidak adil karena
apartheid tidak memiliki dasar rasional. Inti dari iman agama, kekuatannya dan
kejayaannya, adalah karena ia tidak bergantung pada penilaian yang rasional. Kita
semua di harapkan untuk mempertahankan ketidak setujuan kita. Tapi tanyakan
kepada orang yang beragama untuk membuktikan kepercayaan mereka dan anda akan
di tuduh melanggar azas ‘kebebasan beragama’.
Saya tidak tahu
jika sesuatu yang sangat mirip akan terjadi di abad ke 21. The New York Times
(10 April 2006) memberitakan bahwa banyak kelompok kristen di kampus di Amerika
menuntut Universitas mereka karena mendukung peraturan anti-deskriminasi,
termasuk larangan untuk menghina ata menganiaya homoseksual. Contoh yang mirip,
pada tahun 2004 James Nixon, anak laki-laki umur 12 tahun di izinkan memakai
baju kaos yang bertuliskan “Homoseksual adalah dosa, Islam adalah kebohongan,
aborsi adalah pembunuhan. Beberapa edisi (manusia) hanya ada hitam dan putih!”
Pihak sekolah menyruhnya untuk tidak mengenakan baju kaosnya – dan orang tua
anak itu menuntut pihak sekolah. Orang tua itu mungkin bisa mendapat kemenangan
jika dia mendasarkan kasusnya itu pada Amandemen Pertama tentang jaminan
kebebasan berbicara. Tapi mereka tidak melakukan itu, tentu saja, karena
kebebasan berbicara tidak tidak boleh melibatkan ‘bicara kebencian’. Tapi
mereka hanya perlu menunjukkan bahwa pendapat kebencian mereka itu berdasarkan
pada agama mereka, lalu itu tidak termasuk pendapat kebencian lagi. Jadi
bukannya menggunakan hak kebebasan berbicara, pengacara Nixon menggunakan hak
konstitusi tentang kebebasan beragama. Tuntutan hukum mereka yang jaya di
dukung oleh Alliance Defence Fund of Arizona, yang bisnis utamanya adalah untuk
‘mendorong pertarungan hukum kebebasan beragama’.
Pendeta Rick
Scarborough, mendukung gelombang tuntutan hukum umat kristen yang sejenis untuk
membuat agama sebagai dasar hukum untuk pembenaran deskriminasi terhadap kaum
homoseksual dan grup-grup lainnya, dia menyebutnya sebagai perjuangan hak
rakyat di abad ke 21. ‘Orang kristen harus berjuang untuk hak mereka sebagai
orang kristen.’ Sekali lagi, jika orang-orang seperti mereka memperjuangkan hak
kebebasan berbicara, orang lain mungkin akan mendukungnya. Tapi ini bukan
tentang hal itu. Kasus hukum mereka mendukung deskriminasi terhadap homoseksual
dan di sampaikan sebagai usaha menangkal deskriminasi terhadap agama! Dan hukum
tampak menghormati hal ini. Anda tidak bisa lolos dengan mengatakan, ‘Jika kamu
mencoba menghentikan saya dari menghina kaum homoseksual, itu melanggar
kebebasan saya berprasangka’. Tapi anda bisa lolos dengan mengatakan, ‘itu
melanggar kebebasan saya beragama.’ Jika anda pikir, apakah bedanya? Akan
tetapi sekali lagi, agama mengalahkan semuanya.
Saya akan
mengakhiri bab ini dengan sebuah studi kasus, yang menunjukkan sangat jelas
hormat berlebihan dari masyarakat terhadap agama, jauh di atas rasa hormat
manusia biasa. Kasus ini mencuat pada tahun 2006 – sebuah episode gila, yang berada
di antara titik ekstrim komedi dan tragedi. Pada september sebelumnya, sebuah
koran di Denmark, Jyllands-Posten mempublikasikan
dua belas gambar kartun nabi Muhammad. Dalam waktu tiga bulan berikutnya,
kebencian di sebar luaskan secara hati-hati di dalam dunia Islam oleh kelompok
kecil Muslim yang tinggal di Denmark, di pimpin oleh dua imam yang telah di
berikan suaka di sana. Di akhir tahun 2005 para pendatang keji ini pergi ke
Mesir membawa dokumen, yang di perbanyak dari sana ke seluruh dunia Islam,
termasuk, yang paling penting, Indonesia. Dokumen itu mengandung informasi
tidak benar tentang ketidak adilan terhadap Muslim di Denmark, dan kebohongan
yang di sengaja bahwa Jyllands-Posten
adalah koran milik negara. Itu juga mengandung dua belas kartun yang asal
usulnya tidak jelas tetapi yang pasti tidak memiliki hubungan apapun dengan
negara Denmark. Tidak seperti dua belas gambar yang asli, ada tiga tambahan yang
benar-benar ofensif – atau sudah pasti jika itu menggambarkan Muhammad
sebagaimana propaganda mereka. Yang paling buruk di antara ketiga foto itu
bukanlah karikatur sama sekali melainkan fax foto seseorang yang menggunakan
hidung babi palsu yang di ikat dengan karet di kepalanya. Ahirnya foto itu di
ketahui ternyata merupakan foto milik Associated Press yang memotret orang
prancis yang sedang mengikuti kontes peniru suara babi di sebuah festifal di
pedesaan di Prancis. Foto tersebut tidak memiliki hubungan apapun dengan
Muhammad, tidak ada hubungan dengan dengan Islam, dan tidak juga dengan
Denmark. Tetapi aktifis muslim, dalam kampanye menyesatkan mereka, menceritakan
hubungan ketiga foto tersebut... dengan hasil yang bisa di perkirakan.
Kebencian dan
kekerasan yang di tanam dengan hati-hati itu di bawa ke ahir yang meledak lima
bulan setelah keduabelas karikatur itu di publikasikan. Demonstran di Pakistan
dan Indonesia membakar bendera Denmark (darimana mereka mendapatkannya?) dan
tuntutan histeris di ajukan ke pemerintah Denmark untuk meminta maaf. (Meminta
maaf atas apa? Mereka tidak menggambar karikatur tersebut atau
mempublikasikannya. Orang Denmark hanya hidup di negara dengan media yang
bebas, sesuatu yang orang-orang di banyak negara Islami sulit untuk fahami.)
Koran-koran di Norwegia, Jerman, Prancis, dan bahkan Amerika Serikat (tetapi
tidak Inggris) memprint ulang karikatur itu dengan bahasa tubuh yang
menunjukkan solidaritas terhadap Jyllands-Posten, yang akibatnya menambah panas
keadaan. Kantor kedutaan besar dan konsulat di rusak, produk Denmark di boykot,
warga Denmark dan tentu saja orang barat pada umumnya di ancam secara fisik;
Gereja di Pakistan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Denmark
ataupun Eropa di bakar, sembilan orang di bunuh ketika demonstran rusuh Libya
menyerang dan membakar konsulat Italia di Benghazi. Sebagaimana di tulis oleh
Germaine Greer, ‘apa yang benar-benar di sukai dan pandai di lakukan
orang-orang ini adalah kerusuhan’.
Hadiah 1 Juta
Dollar di tawarkan untuk kepala kartunis Denmark yang menggambar karikatur
tersebut oleh seorang Imam di Pakistan – yang sepertinya tidak sadar bahwa ada
dua belas kartunis Denmark yang berbeda, dan hampir pasti tidak tahu bahwa tiga
gambar gambar yang paling ofensif sebenarnya tidak pernah muncul di Denmark
sama sekali (dan ngomong-ngomong, darimana uang jutaan dolar itu berasal?). Di
Nigeria, demonstran muslim yang menentang kartunis Denmark membakar beberapa
gereja kristen, dan menggunakan korek api untuk menyerang dan membunuh (orang
Nigeria kulit hitam) yang beragama kristen di jalanan. Salah satu orang kristen
di taruh di dalam ban mobil dan disirami bensin lalu di bakar. Para demonstran yang di foto di Inggris memegang banner yang bertuliskan ‘Penggal mereka
yang menghina Islam’, ‘Cincang mereka yang mengolok Islam’, ‘Eropa, anda akan
membayarnya: Penghancuran anda sedang dalam perjalanan’, dan tampaknya tanpa
ironi, ‘Penggal mereka yang mengatakan Islam adalah agama yang penuh
kekerasan’.
Akibat dari
kejadian ini adalah, jurnalis Andrew Muller menginterview pemuka Muslim moderat
di Inggris, Sir Iqbal Sacraine. Moderat dalam standar Islam hari ini, tetapi
dalam catatan Andrew Muller dia tetap bependapat ketika Salman Rushdie di ancam
hukuman mati karena menulis novel: ‘Hukuman mati mungkin terlalu ringan bagi
dia’ – sebuah pendapat yang menempatkannya dalam posisi yang sangat berlawanan
dengan Muslim yang paling berpengaruh di Inggris, almarhum Dr. Zaki Badawi,
yang menawarkan Salman Rushdie tempat tinggal di rumah dia sendiri. Sacraine
menceritakan kepada Muller tentang betapa perihatinnya dia tentang karikatur
Denmark tersebut. Muller juga prihatin, tapi karena alasan yang berbeda: ‘Saya
khawatir jika reaksi aneh dan disproporsional terhadap gambar jelek dari koran
kecil skandinavia membenarkan bahwa... Islam dan Barat secara fundamental tidak
bisa bersatu.’ Sacraine di lain pihak memuji koran-koran Inggris yang tidak
mencetak gambar-gambar tersebut, yang kepadanya Muller mengungkapkan kecurigaan
dari kebanyakan negara bahwa ‘Pembatasan diri koran-koran di Inggris bukan
karena mereka sensitif terhadap kekecewaan para Muslim, tetapi lebih karena
mereka tidak ingin melihat jendela-jendela mereka pecah (karena demonstran)’.
Sacraine menjelaskan
bahwa ‘Muhammad SAW sangat penting di dalam dunia Muslim yang baginya
kehormatan dan cinta yang tak bisa di jeaskan kata-kata. Melebihi cinta kepada
orang tuamu, kekasihmu, dan anak-anakmu. Itu adalah bagian dari iman. Ada juga
ajaran Islam untuk tidak boleh menggambar si Nabi.’ Ini menunjukkan,
sebagaimana di saksikan Muller:
“bahwa nilai-nilai Islam mengalahkan nilai-nilai semua orang lain, yang
mana setiap penganut
Islam percayai, sama seperti
setiap pengikut agama lain
yang percaya bahwa kepercayaan mereka
adalah satu-satunya jalan, kebenaran dan cahaya. Jika
ada yang mau mencintai pengkhotbah
abad ke-7 lebih dari keluarga
mereka sendiri, itu terserah mereka,
tetapi tidak seorang pun wajib untuk menganggap hal itu serius”
Tetapi jika
anda tidak menanggapinya dengan serius dan memberikannya kehormatan yang pantas
jiwa anda akan terancam, pada skala yang tidak ada agama lain yang pernah
melakukannya sejak Abad Pertengahan. Seseorang tidak dapat berhenti memikirkan
mengapa kekerasan seperti itu benar-benar di perlukan, bukankah, sebagaimana
catatan Muller: “Jika ada di antara anda para badut memang benar, si kartunis
itu juga akan masuk neraka – apakah itu tidak cukup? Di waktu yang sama, jika
anda tertarik mengenai kekerasan di dunia Muslim, silahkan baca laporan Amnesty
International tentang Syria dan Arab Saudi.”
Banyak orang
mencatat perbedaan antara kekecewaan histeris yang di miliki para Muslim dan kemudahan
media Arab untuk mempublikasikan gambar-gambar stereotip anti yahudi. Pada
demonstrasi di Pakistan untuk melawan karikatur dari Denmark tersebut, seorang
wanita dalam burka hitam membawa banner yang bertuliskan ‘God Bless Hitler’.
Menanggapi
kerusuhan yang memanas ini, sebuah koran liberal yang adil menunjukkan ketidak
setujuannya dengan kekerasan dan menyampaikan pendapat tentang kebebasan
berbicara. Tetapi pada saat yang sama mereka menunjukkan hormat dan
simpati terhadap kekecewaan dan luka mendalam yang di derita kaum Muslim. Kekecewaan
dan luka itu terdiri atas, ingat, bukan karena seseorang menderita akibat
penganiayaan atau kesakitan nyata lainnya, itu tidak lebih dari beberapa tetes
tinta printer di permukaan sebuah koran yang tidak seorang pun di luar Denmark
akan mengetahuinya jika bukan karena kampanye sistematis yang di sengaja untuk
mengundang kerusuhan.
Saya tidak
mendukung tindakan menyerang dan menyakiti orang hanya karena hal sepele di
atas. Tetapi saya terpancing dan bingung oleh kekebalan khusus yang
disproporsional di dalam masyarakat kita yang sebenarnya sekuler. Semua
politisi harus terbiasa dengan karikatur-karikatur wajah mereka yang bertujuan
mengejek mereka, dan tidak ada seorang pun yang akan mengamuk karena hal itu.
Apa yang begitu spesial dengan agama sehingga kita memberikannya hak dan
penghormatan yang begitu berbeda? Sebagaimana H.L. Mencken katakan: “Kita harus
menghormati agama orang lain, tapi hanya sebatas seperti kita menghormati teorinya bahwa istrinya cantik dan anak-anaknya pintar.”
Atas dasar
penerimaan akan penghormatan agama berelebihan yang tak boleh di ganggu gugat ini
saya membuat penolakan di dalam buku ini. Saya tidak akan keluar batas
untuk menyinggung, tetapi saya juga tidak akan menangani agama lebih spesial
daripada semua hal-hal lainnya.
Translated by SN
Comments
Post a Comment