Skip to main content

The God Delusion by Richard Dawkins | Terjemahan Bahasa Indonesia | Bab I


CHAPTER 1
A deeply religious
non-believer

//Orang alim yang
tidak beriman//

I don't try to imagine a personal God; it suffices to
stand in awe at the structure of the world, insofar as it
allows our inadequate senses to appreciate it.

“Saya tidak membayangkan tuhan yang memiliki kepribadian; Cukuplah untuk berdiri dan mengagumi struktur dunia, sejauh panca indera kita yang tak sempurna ini bisa mengapresiasinya.”


ALBERT EINSTEIN

Kehormatan yang Pantas

Anak itu tiarap di atas rerumputan, dagunya bertumpu di tangannya. Dia tiba-tiba merasa kewalahan oleh kesadaran yang tinggi atas batang-batang dan akar-akar pohon yang kusut, dia menemukan sebuah hutan di dalam dunia mikro, dunia semut dan kumbang yang berbeda dan bahkan dunia miliaran bakteri di dalam tanah, dimana secara diam-diam bakteri tersebut menopang perekonomian dunia mikro, walaupun anak itu belum mengetahui detail bakteri pada saat itu. Tiba-tiba dunia mikro tersebut tampak membesar dan menjadi satu dengan alam semesta,  pikirannya terpesona merenungkan hal itu. Dia menafsirkan pengalaman tersebut secara religius dan ahirnya menuntunya ke dunia kependetaan. Dia akhirnya menjadi seorang pendeta. Dia ditahbiskan sebagai pendeta Anglikan dan menjadi pendeta imam di sekolah saya, dia adalah salah seorang guru saya yang saya sayangi. Berkat pendeta yang liberal dan jujur seperti dialah orang tidak bisa mengklaim saya mengalami indoktrinasi agama pada masa kecil.

Di waktu dan tempat yang lain, anak itu bisa saja adalah saya di bawah bintang-bintang, terpesona oleh rasi bintang Orion, Cassiopeia dan Ursa Major, menangis karena musik sunyi dari Galaksi Bima Sakti, mabuk oleh aroma kamboja malam dan bunga terompet di taman Afrika. Mengapa emosi yang sama menuntun guru saya itu ke suatu arah dan saya ke arah yang lain bukanlah pertanyaan yang mudah untuk di jawab. Respon kuasi-mistis terhadap fenomena kehidupan dan alam semesta merupakan hal yang biasa di antara para ilmuwan dan rasionalis. Ini tidak ada hubungannya dengan kepercayaan supranatural. Di masa kanak-kanak setidaknya, pendeta saya mungkin tidak menyadari (begitu juga saya) tentang kalimat penutup buku The Origin of Species di bagian akhir yang terkenal itu, “burung-burung yang bernyanyi di semak-semak, berbagai serangga yang melayang-layang di sekitar, dan cacing-cacing yang merayap melalui bumi yang lembab”. Seandainya dia tahu akan hal itu, dia pasti akan memahaminya sebagaimana pendangan Darwin yang melihat bahwa semua itu diproduksi oleh hukum alam yang bertindak di sekitar kita”:

“Begitulah, dari peperangan di alam, dari kelaparan dan kematian, makhluk paling mulia yang dapat kita fahami, khususnya, penciptaan hewan yang lebih tinggi, muncul secara langsung. Ada keagungan dalam pandangan hidup ini, dengan beberapa kekuatannya, yang pada awalnya membentuk banyak atau satu bentuk hewan, dan sementara planet ini berputar, menurut hukum tetap gravitasi yang tetap, dari awal yang begitu sederhana, bentuk-bentuk hewan yang paling indah dan paling mengagumkan terus menerus telah, dan sedang, berevolusi.”

Carl Sagan di dalam buku Pale Blue Dot menulis:

“Mengapa hampir tidak ada agama-agama utama yang melihat ke sains dan menyimpulkan. ‘Ini lebih baik daripada yang kita pikirkan! Alam semesta jauh lebih besar daripada yang di katakan nabi-nabi kita, lebih megah, lebih rumit, lebih elegan?’ Bukannya demikian, justru mereka berkata, ‘tidak, tidak, tidak! Tuhan saya adalah tuhan yang kecil, dan saya ingin dia tetap seperti itu.’ Sebuah agama, yang tua maupun yang baru, yang menekankan kebesaran alam semesta sebagaimana di gambarkan sains modern mungkin dapat menarik simpati dan rasa takjub yang tidak pernah di sentuh agama pada umumnya.”

Buku Carl Sagan menyentuh ujung saraf dari rasa ingin tahu yang di monopoli agama pada abad-abad lalu. Buku saya memiliki aspirasi yang sama. Akibatnya saya sering mendengar diri saya di gambarkan sebagai orang yang sangat religius. Seorang pelajar amerika menulis surat kepada saya bahwa dia pernah menanyakan dosennya prihal apakah si dosen memiliki pandangan tentang saya. ‘Tentu,’ Jawabnya. ‘Sains positifnya tidak sesuai dengan agama, tetapi dia berfikir mendalam dan tinggi tentang alam dan jagad raya. Bagi saya, itu adalah agama!’ Tapi apakah agama adalah kata yang tepat? Saya pikir tidak. Pemenang Nobel dalam Fisika (dan atheist) Steven Weinberg mengutarakan poin yang sangat baik, dalam buku Dreams of a Final Theory:

“Beberapa orang memiliki pandangan tentang tuhan yang sangat luas dan fleksibel sehingga tidak terelakkan mereka menemukan tuhan dimanapun mereka mencarinya. Seseorang mendengar perkataan,  ‘tuhan adalah absolut’ atau ‘tuhan adalah karakter kita yang lebih baik’ atau ‘tuhan adalah alam semesta.’ Tentu saja, seperti kata-kata yang lain, kata ‘tuhan’ dapat kita maknai sesuka hati kita. Jika anda ingin mengatakan ‘tuhan adalah energi,’ maka anda dapat menemukan tuhan di dalam gumpalan batu bara”

Weinberg tentu saja benar, agar kata tuhan tidak menjadi kata yang tidak berguna, kata itu harus di gunakan sebagaimana orang memahaminya secara umum: untuk menunjuk kepada Pencipta Supernatural yang ‘pantas untuk kita sembah’.

Banyak kesalah pahaman yang di sayangkan di sebabkan oleh kegagalan membedakan apa yang di sebut agama khas Einstein (Einsteinian) dengan agama supernatural. Einstein terkadang menyebut kata tuhan (dan dia bukanlah satu-satunya ilmuan atheist yang sering melakukan hal itu), mengundang kesalah pahaman dari kalangan supernaturalis yang sangat ingin mencaritahu dan mengklaim si pemikir sebagai bagian dari mereka. Yang dramatis (atau mungkin bermasalah) adalah bagian ahir dari buku Stephen Hawking A Brief History of Time, “Oleh karena itu kita harus mengetahui pikiran tuhan”, yang benar-benar di salah gunakan. Itu telah menuntun orang untuk salah paham bahwa Stephen Hawking adalah orang yang religius. Ahli biologi sel Ursula Goodenough, dalam buku The Sacred Depths of Nature, terdengar lebih religius daripada Hawking ataupun Einstein. Dia mencintai gereja, masjid dan biara, dan banyak kalimat di dalam bukunya menggugah untuk di salah gunakan oleh kalangan agama supernatural. Dia melanjutkan dengan menyebut dirinya sebagai ‘Naturalis yang Religius’. Akan tetapi, pembacaan yang teliti terhadap bukunya menunjukkan bahwa dia sebenarnya sangat atheist seperti saya.

Naturalis adalah kata yang ambigu. Bagi saya itu menampakkan pahlawan masa kecil saya, Doctor Dolittle karya Hugh Lofting (yang ngomong-ngomong memiliki lebih dari sentuhan filsuf naturalis HMS Beagle tentangnya). Pada abad ke-18, naturalis memiliki makna yang sama dengan maknanya yang sekarang: seorang yang mempelajari tentang fenomena alam. Naturalis dalam pandangan ini, dari Gilbert White, sering merupakan seorang pendeta. Darwin sendiri pada awalnya di arahkan ke gereja ketika dia masih muda, berharap bahwa waktu luangnya di gereja kependetaan akan mengizinkannya untuk mengejar ketertarikannya akan Kumbang. Tetapi para filsuf menggunakan kata naturalis dalam makna yang berbeda, sebagai lawan dari kata supernaturalist. Julian Baggini menjelaskan dalam buku Atheism: A Very Short Introduction tentang makna dari komitmen seorang atheist terhadap naturalisme:

“Apa yang di percaya kebanyakan atheist adalah walaupun hanya ada satu macam zat di alam semesta ini dan itu adalah zat yang fisik, dari zat inilah muncul akal, keindahan, nilai moral – singkatnya, segala macam fenomena yang memberikan kesempurnaan dalam hidup manusia”

Fikiran dan emosi manusia muncul dari hubungan yang sangat kompleks antar entitas-entitas fisik di dalam otak manusia. Seorang atheis dalam hal filosofi naturalis ini adalah seseorang yang percaya bahwa tidak ada apapun di luar dunia fisik alamiah, tidak ada kecerdasan supernatural yang bekerja di balik alam semesta yang terobservasi, tidak ada jiwa yang hidup lebih lama dari badannya dan tidak ada keajaiban – kecuali dalam hal fenomena alam yang belum kita fahami. Jika ada sesuatu yang tampak berada di luar dunia alamiah, itu karena kurangnya pemahaman kita akan hal itu saat ini, kita berharap suatu saat akan dapat memahami dan merangkulnya di dalam kaidah alamiah. Sebagaimana ketika kita memahami proses fisika di balik pelangi, itu tidak membuat keindahannya berkurang.

Para ilmuan besar di zaman kita yang terdengar religius sebenarnya tidak religius ketika anda teliti tentang kepercayaannya lebih mendalam. Ini tentunya benar terhadap Einstein dan Hawking. Astronomer Royal dan Presiden The Royal Society saat ini, Martin Rees, memberitahu saya bahwa dia pergi ke gereja sebagai seorang ‘Anglikan* yang tak beriman... atas kesetiaan terhadap sukunya’. Dia tidak memiliki kepercayaan agamis, tapi sama-sama merasakan naturalisme puitis yang di timbulkan alam semesta seperti terhadap ilmuan-ilmuan yang telah saya sebutkan. Dalam kesempatan wawancara telivisi beberapa waktu yang lalu, saya menantang teman saya seorang dokter kandungan, Robert Winston, seorang Yahudi yang terhormat di Inggris, untuk mengakui bahwa karakter keyahudian dia adalah seperti yang di atas dan dia tidak benar-benar mempercayai hal-hal yang gaib. Dia hampir saja mengakuinya tetapi tidak jadi (sebenarnya dia yang seharusnya menginterview saya, bukan sebaliknya). Ketika saya menekan dia, dia berkata bahwa agama Yahudi menyediakan disiplin yang bagus untuk membantunya menyusun kehidupan yang baik. Mungkin itu benar; tapi tentu saja, itu sama sekali tidak memiliki sedikitpun hubungan dengan kebenaran klaim-klaim supernatural agama itu. Ada banyak intelektual ateis yang bangga menyebut diri mereka Yahudi dan menjalankan tradisi ibadah Yahudi, mungkin karena kesetiaan mereka terhadap tradisi kuno atau anggota keluarga yang terbunuh, tapi juga karena kebingungan dan keinginan melabel faham Pantheistic* yang dirasakan banyak di antara kita dengan label ‘agama’ dengan pemukanya yang sangat ternama, Einstein. Mereka mungkin tidak percaya tetapi, meminjam ungkapan Dan Dennet, mereka ‘percaya kepada kepercayaan mereka’.

Salah satu ungkapan Einstein yang paling sering muncul adalah “Sains tanpa agama itu lumpuh, agama tanpa sains itu buta.” Tapi Einstein juga mengatakan,

"Itu tentu saja sebuah kebohongan, apa yang anda baca tentang keyakinan agama saya, sebuah kebohongan yang di ulang-ulang secara sistematis. Saya tidak percaya kepada tuhan yang berkepribadian dan saya tidak pernah menyangkal ini tetapi saya telah mengungkapkannya secara jelas. Jika ada sesuatu dalam diri saya yang dapat di katakan religius maka itu adalah rasa takjub yang tak terbatas akan struktur dunia sejauh yang dapat di ungkapkan ilmu pengetahuan kita."

Apakah ini artinya Einstein membantah dirinya sendiri? Karena perkataannya dapat di comot dan di gunakan untuk mendukung argumen kedua belah pihak? Tidak. ‘Agama’ yang di maksud Einstein sangat berbeda dengan agama pada umumnya. Sebagaimana saya terus menjelaskan perbedaan antara agama supernatural di satu sisi dan agama khas Einstein di lain sisi, camkan baik-baik bahwa saya hanya menyebut tuhan yang seupernatural (gaib) sebagai sebuah ilusi.

Ini adalah beberapa ungkapan dari Einstein, untuk memberikan nilai tambah terhadap agama khas Einstein (Einsteinian).

“Saya adalah orang alim yang tidak beriman. Ini adalah semacam agama baru”

“Saya tidak pernah memaksakan sebuah tujuan atau goal atas alam, atau apapun yang dapat di fahami sebagai antropomorphic (antropomorfisme adalah pemberian atribut sifat-sifat, emosi, atau niat manusia ke dalam entitas non-manusia). Apa yang saya lihat di alam adalah struktur luar biasa yang dapat kita fahami dengan sangat tidak sempurna, dan itu harus memberikan perasaan rendah diri pada orang-orang yang berfikir. Ini adalah perasaan religius murni yang tidak ada hubungannya dengan mistisisme.”

“Konsep Tuhan yang berkepribadian sangat aneh bagi saya dan bahkan terlihat bodoh”
 
Sejak kematian Einstein, lebih banyak lagi agamawan yang mengklaim Einstein sebagai bagian dari mereka. Beberapa agamawan yang hidup sezaman dengan Einstein melihatnya dengan sangat berbeda. Pada tahun 1940 Einstein menulis surat yang terkenal, menbenarkan pendapatnya “Saya tidak percaya kepada tuhan yang berkepribadian.” Ini dan pendapat-pendapat serupa menimbulkan badai surat-surat dari kalangan ortodoks agama, banyak dari mereka menyebut-nyebut tentang latar belakang Yahudi Einstein. Contoh-contoh berikutnya di ambil dari buku karya Max Jammer, Einstein and Religion (yang juga merupakan sumber utama saya untuk pendapat-pendapat Einstein dalam hal agama). Imam Katolik Roma di kota Kansas mengatakan: “Sedih untuk melihat orang yang datang dari tradisi Kitab Injil Perjanjian Lama dan ajarannya, manolak tradisi besar ras itu.” Imam Katolik yang lain mengklaim: “Tidak ada tuhan lain selain tuhan yang berkepribadian... Einstein tidak tahu apa yang dia bicarakan. Dia sangat salah. Beberapa orang berfikir bahwa jika mereka mencapai derajat tinggi di dalam suatu disiplin ilmu, mereka bisa mengutarakan pendapat dalam segala hal.” Konsep bahwa agama adalah sebuah disiplin ilmu yang pantas, dimana orang boleh mengklaim sebagai seorang ahli, adalah salah satu hal yang tidak boleh di abaikan. Imam tersebut mungkin tidak akan menolak seseorang yang mengklaim dirinya sebagai ahli ilmu peri dalam hal kepastian bentuk dan warna sayap peri. Mereka berdua berfikir bahwa karena Einstein tidak terdidik di bidang agama sehingga dia salah memahami tentang tuhan. Justru sebaliknya, Einstein sangat memahami apa yang dia bantah.

Seorang pengacara dari Katolik Roma, yang bekerja atas nama koalisi Ecumenical (kristen universal/non-denominational), menulis kepada Einstein:

“Kami sangat menyayangkan anda membuat statemen... dimana anda menghina ide tentang tuhan yang berkepribadian. Dalam 10 tahun terahir tidak ada sesuatupun yang dapat di pikirkan orang sebagai alasan Hitler mengusir Yahudi dari Jerman kecuali statement anda. Memanfaatkan hak anda atas kebebasan berbicara, saya tetap mengatakan bahwa statemen anda membuat anda sebagai salah satu sumber terbesar perpecahan di Amerika”

Seorang Rabbi di New York berkata: “Einstein adalah ilmuan hebat, tapi pandangan agamanya sangat berlawanan dengan agama Yahudi”

‘Tapi’? ‘Tapi?’ Mengapa tidak menggunakan kata ‘dan’ saja?

Presiden dari Komunitas Sejarah di New Jersey menulis surat yang menunjukkan dengan jelas betapa salah dan lemahnya pola pikir orang yang religius, ini pantas di baca dua kali:

“Kami menghormati pelajaran anda, Dr. Einstein; tapi tampaknya ada satu hal yang tidak pernah anda pelajari: bahwa tuhan itu gaib dan tidak bisa di temukan dengan teleskop atau mikroskop, tidak lebih dari pikiran dan emosi manusia yang bisa di temukan dengan menganalisa otak. Sebagaimana di ketahui semua orang, agama di dasari dari iman, bukan pengetahuan. Semua orang yang berfikir pasti pernah di hinggapi rasa ragu tentang agama. Keimanan saya pun sering mengalaminya. Tapi saya tidak pernah mengungkapkan keraguan agama saya kepada orang lain karena dua alasan: (1) Saya takut jika saya akan mengganggu dan merusak kehidupan dan harapan sesama manusia; (2) Karena saya setuju dengan seorang penulis yang berkata, ‘Ada sifat kikir dari setiap orang yang ingin menghancurkan iman orang lain.’ ... Saya harap, Dr. Einstein, bahwa pendapat anda itu di salah gunakan dan anda akan mengatakan pendapat-pendapat yang lebih menyenangkan  kepada banyak rakyat Amerika yang akan senang melakukan penghormatan untuk anda.”

Sunnguh surat yang sangat memprihatinkan! Setiap huruf menunjukkan kepengecutan intelektual dan moral.

Yang tidak begitu buruk tetapi lebih mengejutkan adalah surat dari Pendiri Asosiasi Calvary Tbernacle*.

Professor Einstein, saya percaya bahwa setiap orang kristen di Amerika akan menjawab anda, ‘Kami tidak akan meninggalkan kepercayaan kami kepada tuhan dan putranya Yesus Kristus, tapi kami akan mempersilahkan anda, jika anda tidak percaya kepada tuhan dari negara ini, untuk pergi kembali ke negara asal anda.’ Saya telah melakukan segala kemampuan saya untuk kebaikan Israel, dan anda datang dengan statemen dari lidah kotor anda, berbuat lebih banyak untuk menyakiti nilai orang-orang Anda daripada semua upaya orang-orang Kristen yang mencintai Israel bisa lakukan untuk membasmi anti-Semitisme di tanah kami. Professor Einstein, semua orang kristen di Amerika akan menjawab anda, “Ambil teori Evolusi anda yang gila dan salah dan pergi ke Jerman dimana anda berasal, atau berhenti mencoba merusak keimanan orang-orang yang menyambut anda ketika anda di usir dari negara anda.”

Satu hal yang semua theist pahami dengan benar bahwa Einstein bukanlah salah satu dari mereka. Dia sering marah karena gosip bahwa dia adalah seorang theist. Jadi, apakah dia seorang Deist (bertuhan tapi tidak beragama?), seperti Voltaire dan Diderot? Atau seorang Pantheist seperti Spinoza yang filosofinya dia kagumi: “Saya percaya kepada tuhannya Spinoza yang menunjukkan dirinya dalam keteraturan dan harmoni semua yang ada, bukan tuhan yang memperhatikan dirinya sendiri dengan takdir dan perbuatan manusia?"

Mari kita ingatkan diri kita tentang istilah. Seorang theist percaya kepada kecerdasan gaib yang di samping pekerjaan utamanya menciptakan alam semesta, juga tetap hadir untuk mengawasi dan memperngaruhi takdir berikutnya dari ciptaannya tersebut. Dalam banyak sistem kepercayaan agama, tuhan terlibat secara intim dengan urusan manusia. Dia menjawab doa, memaafkan atau menghukum pendosa, ikut campur di dunia dengan menunjukkan keajaiban-keajaiban, rewel akan perbuatan baik dan jahat, dan mengetahui kapan kita akan melakukannya (atau berfikir untuk melakukannya). Seorang deist, juga percaya kepada kecerdasan gaib, tapi yang aktifitasnya terbatas pada membangun alam semesta dan hukum yang mengaturnya saja. Tuhan seorang Deist tidak pernah ikut campur setelahnya, dan tidak memiliki ketertarikan khusus terhadap urusan manusia. Pantheist tidak percaya kepada tuhan yang gaib sama sekali, tapi menggunakan kata Tuhan sebagai sinonim dari Alam, atau Alam Semesta, atau hukum yang mengaturnya. Deist berbeda dengan Theist bahwa tuhannya tidak menjawab doa, tidak tertarik kepada dosa dan pertaubatan, tidak membaca pikiran dan tidak ikut campur dengan mukjizat-mukjizatnya. Deist berbeda dengan Pantheist bahwa tuhan Deist adalah semacam kecerdasan kosmik, daripada sinonim metafora puitis Pantheist akan hukum alam semesta. Pantheism adalah Ateisme yang di percantik. Deism adalah Teisme yang di perhalus.

Ada banyak alasan untuk berfikir tentang ungkapan-ungkapan Einstein seperti “Tuhan itu halus tapi tidak jahat”, “Tuhan tidak bermain dadu”, “Apakah tuhan memiliki pilihan untuk menciptakan alam semesta?” sebagai ungkapan Pantheistik, bukan Deistik, apalagi Theistik. “Tuhan tidak bermain dadu” di maknai sebagai “Keacakan tidak terdapat pada semua hal.” “Apakah tuhan memiliki pilihan untuk menciptakan alam semesta?” artinya “Apakah alam semesta dapat muncul dengan cara yang berbeda?” Einstein menggunakan kata Tuhan murni untuk metafor dan makna puitis. Begitu juga Stephen Hawking, dan begitu juga banyak fisikawan-fisikawan lain yang sering secara tidak di sengaja menggunakan metafora agama. The Mind of God karya Paul Davies tampaknya berada di antara Pantheisme khas Einstein dan bentuk samar-samar dari Deisme – yang oleh karenanya dia memperoleh hadiah Templeton (Uang dalam jumlah yang sangat besar yang di berikan setiap tahun oleh Yayasan Templeton, biasanya untuk ilmuan-ilmuan yang siap mengatakan hal-hal yang bagus tentang agama). (Jumlah hadiah templeton itu 1 Juta Poundsterling atau sekitar 19 Miliar Rupiah - Pen.)

Izinkan saya meringkas agama khas Einstein dalam satu ungkapan dari Einstein sendiri: “Pandangan bahwa pada setiap hal yang kita alami ada sesuatu yang fikiran kita tidak dapat mencapainya dan yang keindahan dan kebesarannya mencapai kita hanya secara tidak langsung dan sebagai refleksi kelemahan kita, dalam pandangan ini, saya juga religius.” Dalam pemahaman seperti ini saya juga religius, dengan tambahan bagian ‘tak dapat kita capai’ bukan berarti ‘selamanya tak akan pernah tercapai.’ Tapi saya lebih memilih tidak mengatakan diri saya religius karena itu sering salah di pahami. Ini sangat merusak dan menyesatkan karena, untuk sebagian besar orang, agama mengimplikasikan keajaiban. Carl Sagan menyampaikannya dengan sangat baik: “... Jika tuhan di artikan sebagai keseluruhan hukum fisika yang mengatur alam semesta, maka jelas tuhan seperti itu ada, tapi tuhan ini tidak memuaskan secara emosional... tidak ada makna berarti untuk berdoa kepada hukum gravitasi.”

Lucunya, poin terakhir Carl Sagan tersebut di tunjukkan oleh Pendeta Dr. Fulton J. Sheen, seorang professor di Universitas Katolik di Amerika, sebagai bagian dari serangan keras terhadap penolakan Einstein terhadap tuhan yang berkepribadian pada tahun 1940. Sheen secara sarkastik bertanya siapakah yang mau menyerahkan hidupnya kepada Galaksi Bima Sakti. Sepertinya dia berfikir dia sedang membuat poin yang menentang Einstein, bukan sebaliknya, karena dia menambahkan: “Hanya ada satu kesalahan dengan agama kosmiknya (cosmical): dia menambahkan huruf ekstra di dalam kata tersebut – yaitu huruf ‘s’.” (jika huruf s di hilangkan dari kata cosmical maka katanya akan menjadi comical atau lelucon, sebagai bentuk sindiran terhadap Einstein - Pen.) Tidak ada yang komikal tentang kepercayaan einstein. Bagaimanapun juga, saya berharap bahwa fisikawan berhenti menggunakan kata Tuhan untuk tujuan metaforis dan puitis mereka. Tuhan Pantheistik metaforis para Fisikawan itu berbeda jutaan tahun cahaya dari tuhannya para rabi, pendeta, dan kiyai yang ikut campur, membuat keajaiban, membaca pikiran, menghukum pendosa, menjawab doa seperti di dalam Injil (Taura/Qur’an). Secara sengaja mencampur adukkan antara keduanya, menurut saya, adalah tindakan penghianatan intelektual yang sangat tinggi.



Kehormatan Yang Tidak Pantas

Judul saya, The God Delusion (Delusi akan Tuhan), tidak di maksudkan kepada Tuhan seperti pemahaman Einstein dan ilmuan-ilmuan yang tercerahkan di bagian sebelumnya. Itulah mengapa saya saya perlu menyisihkan agama khas Einstein dulu untuk memulai: karena itu memiliki kapasitas untuk membingungkan orang. Pada bagian yang tersisa dari buku ini saya berbicara mengenai Tuhan yang supernatural, yang paling di kenal oleh mayoritas pembaca saya adalah Yahweh, tuhan di kitab Perjanjian Lama (Taurat). Saya akan membahas itu beberapa saat lagi. Tapi sebelum meninggalkan bagian pendahuluan ini saya perlu untuk membahas satu hal lagi yang akan sangat salah jika tidak di lakukan. Ini adalah tentang etika. Mungkin orang yang religius akan tersingung dengan apa yang harus saya katakan, dan akan menemukan halaman ini tidak cukup menghormati kepercayaan tertentu mereka (atau kepercayaan yang di peluk oleh orang-orang lainnya). Akan sangat memalukan jika kritikan seperti itu menghentikan mereka dari membaca terus isi buku ini, jadi saya ingin menyelesaikannya di sini, pada bagian awal.

Sebuah asumsi yang tersebar luas, yang di terima hampir semua orang dalam masyarakat kita – termasuk yang tidak beragama – adalah, keyakinan beragama itu rentan terhadap kritikan dan harus di lindungi oleh dinding tebal penghormatan yang aneh, pada level yang berbeda dengan kehormatan yang di berikan manusia kepada satu sama lain.  Douglas Adam mengutarakannya dengan sangat baik, pada pidato mendadak yang dia sampaikan di Cambridge beberapa waktu sebelum kematiannya, yang saya tidak pernah lelah menyampaikan perkataan dia ini:

“Agama... memiliki ide-ide tertentu pada dasarnya yang kita anggap keramat atau suci atau apalah. Artinya adalah, ‘Ini adalah sebuah ide atau konsep yang anda tidak di perbolehkan untuk mengatakan apapun yang buruk tentangnya; pokoknya anda tidak boleh. Kenapa tidak boleh? – Karena  anda tidak boleh!’ Jika seseorang memilih partai yang tidak anda setujui, anda bebas berdebat dengan dia tentang hal itu sesuka hati anda; setiap orang akan memiliki argumen dan tidak akan ada yang tersinggung karenanya. Jika seseorang mengatakan pajak harus naik atau turun, anda bebas berdebat tentang itu. Tapi pada sisi lain, jika seseorang mengatakan ‘Saya tidak boleh menghidupkan lampu pada hari sabtu’, anda berkata, ‘Saya menghormati hal itu’. (hari sabtu adalah hari Shabbat, dimana umat Yahudi tidak boleh melakukan banyak pantangan, seperti; tidak boleh bekerja, memasak, menanam, menjahit, menghidupkan lampu/listrik, dll. – Pen.)
            Mengapa kita boleh saja mendukung partai buruh atau partai konservatif, Republikan atau Demokrat, model ekonomi ini versus yang itu, Macintosh daripada Windows – tapi untuk memiliki sebuah pendapat tentang bagaimana alam semesta lahir, tentang siapa yang menciptakan alam semesta... Tidak, itu suci? ... Kita terbiasa untuk tidak mengkritik ide-ide agama tapi sangat menarik melihat betapa besar kehebohan yang Richard timbulkan ketika dia melakukannya! Semua orang gelisah tentang hal itu karena anda tidak boleh mengatakan hal-hal tersebut. Tetapi ketika anda melihat ini secara rasional, tidak ada alasan mengapa hal ini tidak boleh di debat seperti hal-hal yang lainnya, kecuali kita sudah menyetujui entah bagaimana di antara kita tidak boleh ada perdebatan.”

Di sini adalah beberapa contoh penghormatan berlebihan masyarakat kita terhadap agama, satu yang benar-benar penting. Cara yang paling mudah untuk memperoleh status tidak wajib militer pada masa perang adalah keagamaan. Anda mungkin saja seorang filsuf yang baik dengan thesis doktoral yang memperoleh penghargaan, menguraikan kejahatan dalam perang, tapi akan tetap memperoleh kesulitan dari panitia pengurus wajib militer yang mengevalusai klaim anda untuk tidak ikut wajib militer. Tapi, jika anda bisa mengatakan bahwa salah satu atau kedua orang tua anda adalah Quaker, anda bisa lolos dengan cepat seperti angin, tidak penting seberapa tidak lancarnya anda berbicara atau seberapa buta hurufnya anda tentang teori Pasifisme ataupun Quakerisme tersebut. (Quaker/Quakerism adalah sebuah perkumpulan aliran agama kristen yang mengutamakan prinsip perdamaian dan percaya terhadap doktrin Inner Light, atau keterlibatan langsung Yesus Kristus di dalam jiwa mereka. – Oxford Dictionary. Pen.),

Pada posisi yang berlawanan dengan pasifisme, kita memiliki rasa keengganan untuk menggunakan nama-mana keagamaan untuk kubu perang. Di Irlandia Utara, kubu Katolik dan Protesten masing-msing di namai kubu Nasionalis dan Loyalists. Kata ‘agama’ di ganti dengan nama ‘komunitas’, seperti dalam istilah ‘peperangan antar komunitas’. Di Iraq, akibat dari serangan Anglo-saxon Amerika pada tahun 2003, berubah menjadi perang sipil antara kaum Muslim Sunni da Syi’ah. Ini jelas-jelas konflik agama tetapi di headline halaman depan korang Independence pada 20 Mei 2006 yang tertulis justru adalah ‘Pembantaian Etnis’. ‘Etnis’ dalam konteks ini adalah pelembutan bahasa. Apa yang kita saksikan di Iraq adalah Pembantaian yang berhubugan dengan agama. Penggunaan awal istilah ‘Pembantaian Etnis’ di negara pendahulu Yugoslavia juga adalah penghalusan bahasa untuk pertikaian antar agama, yang melibatkan kaum Ortodox Serbia, kaum Katolik Kroasia, dan  ummat Islam Bosnia.

Saya pernah menarik perhatian tentang melegalkan agama untuk di diskusikan secara publik mengenai etika di media dan pemerintahan. Ketika ada kontroversi yang muncul mengenai etika seks dan reproduksi, anda bisa bertaruh pasti ada pemuka agama dari beberapa grup agama yang akan di representasikan untuk menarik pengaruh, atau muncul di panel diskusi di radio dan telivisi. Saya tidak menyarankan kita untuk keluar menyensor orang-orang ini. Tapi mengapa masyarakat kita memberikan mereka izin seakan-akan mereka memiliki keahlian layaknya seperti filsuf moral, pengacara keluarga, atau dokter?

Ini adalah salah satu contoh hak khusus agama. Pada 21 Februari 2006 pengadilan tinggi Amerika membebaskan Gereja di New Mexico dari peraturan hukum yang bagi setiap orang lain harus di patuhi, yaitu dalam hal menggunakan obat halusinogen. Pengikut Centro Espirita Beneficiente Uniao do Vegetal meyakini bahwa mereka bisa memahami Tuhan hanya dengan meminum Teh Hoasca, yang mengandung obat halusinogen ilegal dimethyltryptamine (DMT). Catat bahwa alasan mereka cukup hanya karena mereka ‘Percaya’ itu menambah pemahaman mereka. Mereka tidak perlu menunjukkan bukti. Sebaliknya, ada banyak bukti bahwa ganja mengurangi rasa mual dan ketidak nyamanan pasien yang sedang menjalani kemoterapi. Tetapi pengadilan tinggi memutuskan pada tahun 2005 bahwa semua pasien yang menggunakan ganja untuk tujuan medis akan mudah terkena jeratan hukuman federal (walaupun di beberapa negara-negara bagian dimana penggunaan itu di legalkan). Agama, sebagaimana selalu, adalah kartu truf. Bayangkan jika pengikut perkumpulan pengapresiasi seni memohon di pengadilan bahwa mereka ‘percaya’ mereka memerlukan obat halusinogen untuk dapat menguatkan pemahaman mereka akan lukisan-lukisan surrealist dan impressionist. Tapi, ketika gereja meminta permintaan yang sama, mereka di dukung oleh pengadilan tertinggi di daerah. Beginitulah kekuatan agama sebagai alat untuk menarik dukungan.

Tujuh belas tahun yang lalu, saya adalah salah satu dari tiga puluh enam penulis dan seniman yang di minta oleh majalah New Stetesman untuk menulis dukungan terhadap penulis terkemuka Salman Rushdie, yang nantinya mendapat vonis hukuman mati karena menulis novel. Marah karena ‘simpati’ terhadap ‘ketersinggungan’ para Muslim dan ‘penghinaan’ dari para pemimpin gereja bahkan oleh beberapa pemuka sekuler, saya menulis pendapat perbandingan sebagai berikut:

Jika advokat apartheid memiliki keberanian mereka akan mengklaim – sebagaimana saya ketahui – bahwa membiarkan perkawinan antara ras yang berbeda itu bertentangan dengan peraturan agama mereka. Bagian yang baik dari pihak lawan akan menghormati dan menghindar dari perdebatan.  Dan tidak ada gunanya mengklaim ini adalah perbandingan yang tidak adil karena apartheid tidak memiliki dasar rasional. Inti dari iman agama, kekuatannya dan kejayaannya, adalah karena ia tidak bergantung pada penilaian yang rasional. Kita semua di harapkan untuk mempertahankan ketidak setujuan kita. Tapi tanyakan kepada orang yang beragama untuk membuktikan kepercayaan mereka dan anda akan di tuduh melanggar azas ‘kebebasan beragama’.

Saya tidak tahu jika sesuatu yang sangat mirip akan terjadi di abad ke 21. The New York Times (10 April 2006) memberitakan bahwa banyak kelompok kristen di kampus di Amerika menuntut Universitas mereka karena mendukung peraturan anti-deskriminasi, termasuk larangan untuk menghina ata menganiaya homoseksual. Contoh yang mirip, pada tahun 2004 James Nixon, anak laki-laki umur 12 tahun di izinkan memakai baju kaos yang bertuliskan “Homoseksual adalah dosa, Islam adalah kebohongan, aborsi adalah pembunuhan. Beberapa edisi (manusia) hanya ada hitam dan putih!” Pihak sekolah menyruhnya untuk tidak mengenakan baju kaosnya – dan orang tua anak itu menuntut pihak sekolah. Orang tua itu mungkin bisa mendapat kemenangan jika dia mendasarkan kasusnya itu pada Amandemen Pertama tentang jaminan kebebasan berbicara. Tapi mereka tidak melakukan itu, tentu saja, karena kebebasan berbicara tidak tidak boleh melibatkan ‘bicara kebencian’. Tapi mereka hanya perlu menunjukkan bahwa pendapat kebencian mereka itu berdasarkan pada agama mereka, lalu itu tidak termasuk pendapat kebencian lagi. Jadi bukannya menggunakan hak kebebasan berbicara, pengacara Nixon menggunakan hak konstitusi tentang kebebasan beragama. Tuntutan hukum mereka yang jaya di dukung oleh Alliance Defence Fund of Arizona, yang bisnis utamanya adalah untuk ‘mendorong pertarungan hukum kebebasan beragama’.

Pendeta Rick Scarborough, mendukung gelombang tuntutan hukum umat kristen yang sejenis untuk membuat agama sebagai dasar hukum untuk pembenaran deskriminasi terhadap kaum homoseksual dan grup-grup lainnya, dia menyebutnya sebagai perjuangan hak rakyat di abad ke 21. ‘Orang kristen harus berjuang untuk hak mereka sebagai orang kristen.’ Sekali lagi, jika orang-orang seperti mereka memperjuangkan hak kebebasan berbicara, orang lain mungkin akan mendukungnya. Tapi ini bukan tentang hal itu. Kasus hukum mereka mendukung deskriminasi terhadap homoseksual dan di sampaikan sebagai usaha menangkal deskriminasi terhadap agama! Dan hukum tampak menghormati hal ini. Anda tidak bisa lolos dengan mengatakan, ‘Jika kamu mencoba menghentikan saya dari menghina kaum homoseksual, itu melanggar kebebasan saya berprasangka’. Tapi anda bisa lolos dengan mengatakan, ‘itu melanggar kebebasan saya beragama.’ Jika anda pikir, apakah bedanya? Akan tetapi sekali lagi, agama mengalahkan semuanya.

Saya akan mengakhiri bab ini dengan sebuah studi kasus, yang menunjukkan sangat jelas hormat berlebihan dari masyarakat terhadap agama, jauh di atas rasa hormat manusia biasa. Kasus ini mencuat pada tahun 2006 – sebuah episode gila, yang berada di antara titik ekstrim komedi dan tragedi. Pada september sebelumnya, sebuah koran di Denmark, Jyllands-Posten mempublikasikan dua belas gambar kartun nabi Muhammad. Dalam waktu tiga bulan berikutnya, kebencian di sebar luaskan secara hati-hati di dalam dunia Islam oleh kelompok kecil Muslim yang tinggal di Denmark, di pimpin oleh dua imam yang telah di berikan suaka di sana. Di akhir tahun 2005 para pendatang keji ini pergi ke Mesir membawa dokumen, yang di perbanyak dari sana ke seluruh dunia Islam, termasuk, yang paling penting, Indonesia. Dokumen itu mengandung informasi tidak benar tentang ketidak adilan terhadap Muslim di Denmark, dan kebohongan yang di sengaja bahwa Jyllands-Posten adalah koran milik negara. Itu juga mengandung dua belas kartun yang asal usulnya tidak jelas tetapi yang pasti tidak memiliki hubungan apapun dengan negara Denmark. Tidak seperti dua belas gambar yang asli, ada tiga tambahan yang benar-benar ofensif – atau sudah pasti jika itu menggambarkan Muhammad sebagaimana propaganda mereka. Yang paling buruk di antara ketiga foto itu bukanlah karikatur sama sekali melainkan fax foto seseorang yang menggunakan hidung babi palsu yang di ikat dengan karet di kepalanya. Ahirnya foto itu di ketahui ternyata merupakan foto milik Associated Press yang memotret orang prancis yang sedang mengikuti kontes peniru suara babi di sebuah festifal di pedesaan di Prancis. Foto tersebut tidak memiliki hubungan apapun dengan Muhammad, tidak ada hubungan dengan dengan Islam, dan tidak juga dengan Denmark. Tetapi aktifis muslim, dalam kampanye menyesatkan mereka, menceritakan hubungan ketiga foto tersebut... dengan hasil yang bisa di perkirakan.

Kebencian dan kekerasan yang di tanam dengan hati-hati itu di bawa ke ahir yang meledak lima bulan setelah keduabelas karikatur itu di publikasikan. Demonstran di Pakistan dan Indonesia membakar bendera Denmark (darimana mereka mendapatkannya?) dan tuntutan histeris di ajukan ke pemerintah Denmark untuk meminta maaf. (Meminta maaf atas apa? Mereka tidak menggambar karikatur tersebut atau mempublikasikannya. Orang Denmark hanya hidup di negara dengan media yang bebas, sesuatu yang orang-orang di banyak negara Islami sulit untuk fahami.) Koran-koran di Norwegia, Jerman, Prancis, dan bahkan Amerika Serikat (tetapi tidak Inggris) memprint ulang karikatur itu dengan bahasa tubuh yang menunjukkan solidaritas terhadap Jyllands-Posten, yang akibatnya menambah panas keadaan. Kantor kedutaan besar dan konsulat di rusak, produk Denmark di boykot, warga Denmark dan tentu saja orang barat pada umumnya di ancam secara fisik; Gereja di Pakistan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Denmark ataupun Eropa di bakar, sembilan orang di bunuh ketika demonstran rusuh Libya menyerang dan membakar konsulat Italia di Benghazi. Sebagaimana di tulis oleh Germaine Greer, ‘apa yang benar-benar di sukai dan pandai di lakukan orang-orang ini adalah kerusuhan’.

Hadiah 1 Juta Dollar di tawarkan untuk kepala kartunis Denmark yang menggambar karikatur tersebut oleh seorang Imam di Pakistan – yang sepertinya tidak sadar bahwa ada dua belas kartunis Denmark yang berbeda, dan hampir pasti tidak tahu bahwa tiga gambar gambar yang paling ofensif sebenarnya tidak pernah muncul di Denmark sama sekali (dan ngomong-ngomong, darimana uang jutaan dolar itu berasal?). Di Nigeria, demonstran muslim yang menentang kartunis Denmark membakar beberapa gereja kristen, dan menggunakan korek api untuk menyerang dan membunuh (orang Nigeria kulit hitam) yang beragama kristen di jalanan. Salah satu orang kristen di taruh di dalam ban mobil dan disirami bensin lalu di bakar. Para demonstran yang di foto di Inggris memegang banner yang bertuliskan ‘Penggal mereka yang menghina Islam’, ‘Cincang mereka yang mengolok Islam’, ‘Eropa, anda akan membayarnya: Penghancuran anda sedang dalam perjalanan’, dan tampaknya tanpa ironi, ‘Penggal mereka yang mengatakan Islam adalah agama yang penuh kekerasan’.

Akibat dari kejadian ini adalah, jurnalis Andrew Muller menginterview pemuka Muslim moderat di Inggris, Sir Iqbal Sacraine. Moderat dalam standar Islam hari ini, tetapi dalam catatan Andrew Muller dia tetap bependapat ketika Salman Rushdie di ancam hukuman mati karena menulis novel: ‘Hukuman mati mungkin terlalu ringan bagi dia’ – sebuah pendapat yang menempatkannya dalam posisi yang sangat berlawanan dengan Muslim yang paling berpengaruh di Inggris, almarhum Dr. Zaki Badawi, yang menawarkan Salman Rushdie tempat tinggal di rumah dia sendiri. Sacraine menceritakan kepada Muller tentang betapa perihatinnya dia tentang karikatur Denmark tersebut. Muller juga prihatin, tapi karena alasan yang berbeda: ‘Saya khawatir jika reaksi aneh dan disproporsional terhadap gambar jelek dari koran kecil skandinavia membenarkan bahwa... Islam dan Barat secara fundamental tidak bisa bersatu.’ Sacraine di lain pihak memuji koran-koran Inggris yang tidak mencetak gambar-gambar tersebut, yang kepadanya Muller mengungkapkan kecurigaan dari kebanyakan negara bahwa ‘Pembatasan diri koran-koran di Inggris bukan karena mereka sensitif terhadap kekecewaan para Muslim, tetapi lebih karena mereka tidak ingin melihat jendela-jendela mereka pecah (karena demonstran)’.

Sacraine menjelaskan bahwa ‘Muhammad SAW sangat penting di dalam dunia Muslim yang baginya kehormatan dan cinta yang tak bisa di jeaskan kata-kata. Melebihi cinta kepada orang tuamu, kekasihmu, dan anak-anakmu. Itu adalah bagian dari iman. Ada juga ajaran Islam untuk tidak boleh menggambar si Nabi.’ Ini menunjukkan, sebagaimana di saksikan Muller:

bahwa nilai-nilai Islam mengalahkan nilai-nilai semua orang lain, yang mana setiap penganut Islam percayai, sama seperti setiap pengikut agama lain yang percaya bahwa kepercayaan mereka adalah satu-satunya jalan, kebenaran dan cahaya. Jika ada yang mau mencintai pengkhotbah abad ke-7 lebih dari keluarga mereka sendiri, itu terserah mereka, tetapi tidak seorang pun wajib untuk menganggap hal itu serius

Tetapi jika anda tidak menanggapinya dengan serius dan memberikannya kehormatan yang pantas jiwa anda akan terancam, pada skala yang tidak ada agama lain yang pernah melakukannya sejak Abad Pertengahan. Seseorang tidak dapat berhenti memikirkan mengapa kekerasan seperti itu benar-benar di perlukan, bukankah, sebagaimana catatan Muller: “Jika ada di antara anda para badut memang benar, si kartunis itu juga akan masuk neraka – apakah itu tidak cukup? Di waktu yang sama, jika anda tertarik mengenai kekerasan di dunia Muslim, silahkan baca laporan Amnesty International tentang Syria dan Arab Saudi.”

Banyak orang mencatat perbedaan antara kekecewaan histeris yang di miliki para Muslim dan kemudahan media Arab untuk mempublikasikan gambar-gambar stereotip anti yahudi. Pada demonstrasi di Pakistan untuk melawan karikatur dari Denmark tersebut, seorang wanita dalam burka hitam membawa banner yang bertuliskan ‘God Bless Hitler’.

Menanggapi kerusuhan yang memanas ini, sebuah koran liberal yang adil menunjukkan ketidak setujuannya dengan kekerasan dan menyampaikan pendapat tentang kebebasan berbicara. Tetapi pada saat yang sama mereka menunjukkan hormat dan simpati terhadap kekecewaan dan luka mendalam yang di derita kaum Muslim. Kekecewaan dan luka itu terdiri atas, ingat, bukan karena seseorang menderita akibat penganiayaan atau kesakitan nyata lainnya, itu tidak lebih dari beberapa tetes tinta printer di permukaan sebuah koran yang tidak seorang pun di luar Denmark akan mengetahuinya jika bukan karena kampanye sistematis yang di sengaja untuk mengundang kerusuhan.

Saya tidak mendukung tindakan menyerang dan menyakiti orang hanya karena hal sepele di atas. Tetapi saya terpancing dan bingung oleh kekebalan khusus yang disproporsional di dalam masyarakat kita yang sebenarnya sekuler. Semua politisi harus terbiasa dengan karikatur-karikatur wajah mereka yang bertujuan mengejek mereka, dan tidak ada seorang pun yang akan mengamuk karena hal itu. Apa yang begitu spesial dengan agama sehingga kita memberikannya hak dan penghormatan yang begitu berbeda? Sebagaimana H.L. Mencken katakan: “Kita harus menghormati agama orang lain, tapi hanya sebatas seperti kita menghormati teorinya bahwa istrinya cantik dan anak-anaknya pintar.”

Atas dasar penerimaan akan penghormatan agama berelebihan yang tak boleh di ganggu gugat ini saya membuat penolakan di dalam buku ini. Saya tidak akan keluar batas untuk menyinggung, tetapi saya juga tidak akan menangani agama lebih spesial daripada semua hal-hal lainnya.


Translated by SN

Comments

Popular posts from this blog

Digital Signature: Bagaimana Private Key diverifikasi Bitcoin Network tanpa membeberkan Private Key tersebut.

Untuk Membahas topik ini sebaiknya anda memahami dulu apa itu Private Key dan Public Key dalam ECDSA. Itu sudah saya bahas cukup jelas disini. Digital Signature (tanda tangan digital) memiliki dua bagian: 1. Bagian acak. 2. Bagian Signature. Ini terdiri dari Private Key + Data transaksi yang sedang kita buat tanda tangan digitalnya.   Bagian acak Mulailah dengan menghasilkan sebuah angka acak . Kemudian kalikan angka ini dengan titik generator pada kurva eliptik (titik generator yang sama digunakan saat membuat kunci publik di ECDSA). Titik generator selalu sama pada setiap operasi ECDSA bitcoin. Bagian acak dari tanda tangan digital adalah titik pada kurva yang didapatkan diatas. Tapi kita ambil koordinat x-nya saja, ini kita sebut sebagai (r) :   Ini pada dasarnya sama dengan membuat kunci privat dan kunci publik. Tapi di sini kami melakukannya untuk menambahkan elemen acak ke tanda tangan digital kami. Angka acak itu bisa didapat dari sumber entropi yang bermacam-macam d...

Apakah Kita Bisa Berenang di Kolam Penyimpanan Sisa Bahan Bakar Nuklir? Spent Nuclear Fuel Pool - The Forbidden Pool

Ini adalah foto kolam penyimpanan sisa bahan bakar reaktor nuklir. Katanya kalau renang di sana anda tidak akan kena radiasi mematikan kecuali mendekati batang-batang nuklir (rods) yang di simpan di peti di dasar kolam. Suhu air dalam kolam juga tidak begitu panas sekitar 35 derajat Celcius karena kolam selalu di isi ulang dengan air dingin murni secara berkala. Sementara di dalam reaktor yang aktif beroprasi batang2 nuklir (rods) bisa membuat air mendidih sampai 300 derajat Celcius sehingga menghasilkan uap yang di alirkan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik. Jika air pendingin tidak di ganti secara berkala itu bisa mengakibatkan bencana nuclear meltdown seperti yang terjadi di Chernobyl dimana reaktor meledak karena kelebihan uap dan batang2 nuklir tersebut melelehkan bangunan reaktor nuklir yang di desain untuk mengcontain mereka. Tapi seandainya anda nekat untuk renang di sana kemungkinan besar anda akan mati di tembak security sebelum nyebur ke kolam. "U...