Banyak yang bingung kenapa sains di kalangan umat Islam itu runtuh?
Padahal pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan pada abad ke-8 sampai ke-13 Masehi. Alasannya adalah seperti di jelaskan ulama di dalam video ini. Ini di rekam beberapa waktu lalu dimana dia mengatakan kepada anak-anak kecil bahwa sains itu salah ketika mengatakan bumi berotasi dan berevolusi mengelilingi matahari. Yang perlu di ikuti bukan sains tetapi kitab suci Alqur'an dan Hadist, semua kebenaran ada di sana. Intinya tidak perlu melakukan penelitian ilmiah jika semua kebenaran sudah ada di dalam kitab-kitab tesebut, cukup di baca, di hafal, di praktekkan. Ulama ini namanya Maulana Muhammad Imran Attari, seorang ulama terkenal dan berpengaruh di Pakistan.
Ada banyak contoh-contoh lain ulama yang anti-sains. Sejak zaman aliran Ash'ari menjatuhkan aliran Mu'tazilite 1000 tahun lalu. Islam yang sekarang ini adalah keturunan aliran Ash'arism yang mengutamakan kepatuhan total kepada kitab suci dan hadist.
Aliran Mu'tazilism bersifat lebih kritis dan skeptis, di pengaruhi oleh pemikiran Yunani Kuno seperti Aristoteles. Bagi mereka Alqur'an hanya buku buatan manusia biasa yang bisa di kritik, dan mengutamakan filsafat dan pemikiran rasional daripada dogma kaku yang di ajarkan Ash'arism.
Al-Ghazali adalah pengikut aliran Ash'arism. Dia mengajarkan filsafat Occasionalism atau Kekadang-kadangan. Artinya hukum alam itu tidak tetap, kadang-kadang bisa berubah, sesuai mood tuhan. Api tidak di sebabkan oleh panas, tetapi oleh tuhan. Panas hanya perantara umum saja. Dengan kehendak tuhan bisa saja dingin menyebabkan api, kalau tuhan lagi iseng. Jadi meneliti fenomena alam secara ilmiah dan menganggap alam itu mengikuti hukum-hukum fisika tertentu adalah bentuk kekafiran terhadapt tuhan.
Al-Ghazali menulis bahwa "Akal, karena dia mengajari kita untuk menemukan, mempertanyakan, dan berinovasi, adalah musuh; dalam mengasumsikan kepastian di alam, filsafat tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mengakui bahwa alam sepenuhnya tunduk pada kehendak Tuhan". "Tidak ada di alam yang dapat bertindak secara spontan dan terpisah dari Tuhan." tulisnya.
Fisikawan Nobel Laureate Steven Weinberg menulis di Times of London, Semenjak Al-Ghazali "Tidak ada lagi sains yang layak disebut di negara-negara Islam".
Sebaliknya, Para Mu'tazil mendasarkan analisis terhadap semua teks dan doktrin agama untuk dianalisis dengan akal sehat dan logika yang kokoh dan jika ada ketidaksesuaian maka teks atau doktrin agama tersebut harus ditolak. Bagian ini saja sudah menjadikan mereka musuh kerajaan dan Muslim ortodoks yang secara konservatif mengikuti Hadis (mayoritas Muslim saat ini, termasuk semua sekte Sunni dan Syiah).
Awalnya para Mu'tazil yang mempersekusi pengikut Ash'ari, kemudian situasi berbalik dan mereka yang di persekusi kembali, setelah kalah sejak saat itu aliran rasional ini mati terkubur hingga sekarang.
"Gerakan ini mencapai puncak politiknya selama Kekhalifahan Abbasiyah selama mihna - periode penganiayaan agama yang dilembagakan oleh 'Khalifah Abbasiyah al-Ma'mun pada tahun 833 M. di mana ulama (seperti Sunni dan Syiah) dihukum, dipenjara, atau bahkan dibunuh kecuali mereka mengikuti doktrin Muʿtazila. Kebijakan tersebut berlangsung selama lima belas tahun (833-848 M) karena berlanjut melalui pemerintahan penerus langsung al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan al-Wathiq, dan dua tahun al-Mutawakkil yang membalik situasi pada tahun 848 ( atau mungkin 851)."
(Muhammad Qasim Zaman (1997). Religion and Politics Under the Early Abbasids: The Emergence of the Proto-Sunni Elite.)
Salah satu pemikir Mu'tazil yang kelak menjadi ateis adalah Ibn-Al Rawandi (827–911 M). Ia menegaskan bahwa dogma-dogma religius tidak dapat diterima oleh akal sehat dan karena itu harus ditolak; mukjizat yang diberikan kepada para Nabi, orang-orang yang secara masuk akal dapat dibandingkan dengan dukun dan pesulap, adalah murni karangan manusia belaka, dan mukjizat terbesar di mata Muslim ortodoks, Alquran, juga tidak mendapat perlakuan yang lebih baik: itu bukanlah kitab yang diturunkan atau bukan karya sastra yang tak ada bandingannya. Untuk menyelubungi tesisnya yang menyerang akar semua jenis agama, Ibn al-Rawandi mengarang cerita bahwa itu semua diucapkan oleh seorang Brahmana. Reputasinya sebagai pemberontak tidak beragama menyebar pada abad ke-4/10 ke luar batas-batas sastra Muslim.
Al-Warraq menantang gagasan agama wahyu. Dia berpendapat bahwa jika manusia mampu memahami bahwa, misalnya, baik untuk memaafkan, maka seorang nabi tidak diperlukan, dan bahwa kita tidak boleh mengindahkan klaim nabi yang mengangkat dirinya sendiri, jika apa yang diklaim ternyata bertentangan dengan akal sehat. Al-Warraq mengagumi kecerdasan bukan karena kemampuannya untuk tunduk kepada tuhan, tetapi karena keingintahuannya terhadap keajaiban sains. Dia menjelaskan bahwa orang mengembangkan ilmu astronomi dengan memandang ke langit, dan bahwa tidak ada nabi yang diperlukan untuk menunjukkan kepada mereka bagaimana cara memandang; dia juga mengatakan bahwa tidak ada nabi yang dibutuhkan untuk menunjukkan kepada mereka bagaimana membuat seruling, atau bagaimana memainkannya. "Dia (Tuhan) yang memerintahkan budaknya untuk melakukan hal-hal yang dia tahu mereka tidak akan mampu melakukannya, lalu menghukum mereka, adalah orang bodoh" (Abu Isa Al-Warraq, 889 – 994 M)
Pemikiran non-religious bisa di temukan sampai zaman yunani dan hindu kuno. Ratusan tahun sebelum Masehi.
"Tapi, bagaimanapun, siapa yang tahu, dan siapa yang bisa mengatakan
Dari mana datangnya semua itu, dan bagaimana penciptaan terjadi?
para dewa itu sendiri lebih lambat dari pada penciptaan,
jadi siapa yang benar-benar tahu darimana hal itu muncul?
Darimana semua ciptaan berasal,
pencipta, apakah dia yang membuatnya atau tidak,
pencipta, yang mengamati semuanya dari surga tertinggi,
dia tahu - atau bahkan mungkin dia tidak tahu."
(Kitab Weda, Mandala 10, 10:129-6)
"dengan kehancuran jasmani, orang yang bijaksana dan yang bodoh akan sama-sama musnah, hancur. Mereka tidak akan ada lagi setelah kematian."
(Ajita Kasakambali, filsuf India, abad ke-6 Sebelum Masehi)
Referensi:
1. https://www.youtube.com/watch?v=L9ofCP3WAKU
2. https://www.thenewatlantis.com/publications/why-the-arabic-world-turned-away-from-science
3. https://en.wikipedia.org/wiki/Mu%CA%BFtazila
(Kitab Weda, Mandala 10, 10:129-6)
"dengan kehancuran jasmani, orang yang bijaksana dan yang bodoh akan sama-sama musnah, hancur. Mereka tidak akan ada lagi setelah kematian."
(Ajita Kasakambali, filsuf India, abad ke-6 Sebelum Masehi)
Referensi:
1. https://www.youtube.com/watch?v=L9ofCP3WAKU
2. https://www.thenewatlantis.com/publications/why-the-arabic-world-turned-away-from-science
3. https://en.wikipedia.org/wiki/Mu%CA%BFtazila
Comments
Post a Comment